PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN
Sebegitu jauh kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa
sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab
pribadi. Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri
mengisyaratkan adanya aspek sosial dalam perwujudan pada
kehidupan nyata di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab
sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang sama, yang
sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa
dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab itu tidak bisa
dipisahkan, sehingga tiadanya salah satu dari keduanya akan
mengakibatkan peniadaan yang lain.
Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan bahwa salah
satu hikmah ibadah puasa ialah penanaman rasa solidaritas
sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan bahwa
ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik
sebanyak-banyaknya, terutama perbuatan baik dalam bentuk
tindakan menolong meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu
zakat, sedekah, infaq, dll.
Dari sudut pandangan itulah kita harus melihat kewajiban
membayar zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang
akhir bulan suci itu. Seperti diketahui, fithrah merupakan
konsep kesucian asal pribadi manusia, yang memandang bahwa
setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih. Karena
itu zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkan
kesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi sosial yang
sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap
zakat atau "sedekah" (shadagah, secara etimologis berarti
"tindakan kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan
bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam
kesulitan hidup seperti al-riqab (mereka yang terbelenggu,
yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka
yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun
(mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang
yang terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan
beban hidup mereka. Sasaran zakat yang lain pun masih
berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan
umum atau sosial, seperti sasaran amil atau panitia zakat
sendiri, kaum mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan
Allah), kepentingan masyarakat dalam artian yang
seluas-luasnya.
Sebenarnya dimensi sosial dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab Suci,
yaitu taqwa. Dalam memberi penjelasan tentang taqwa sebagai
tujuan puasa itu, Syeikh Muhammad 'Abduh menunjuk adanya
kenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan
puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama
"membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar
senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam urusan hidup
mereka di dunia ini. Ini sejalan dengan kepercayaan mereka
bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan
diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.
Cara pandang kaum musyrik itu merupakan konseknensi faham
mereka tentang Tuhan sebagai yang harus didekati dengan
sesajen, berupa makanan atau lainnya (termasuk manusia
sendiri) yang "disajikan" kepada Tuhan. Altar di kuil-knil
bangsa Inka di banyak bagian Amerika Selatan, umpamanya,
menunjukkan adanya praktek "ibadat" mendekati Tuhan dengan
sesajen berupa korban manusia. Demikian pula pada
bangsa-bangsa lain, praktek serupa juga tercatat dalam
sejarah, seperti pada bangsa-bangsa Mesir kuna, Romawi,
Yunani, India, dll.
Hal itu tentu berbeda dengan ajaran agama Tawhid yang
mengajarkan manusia untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya
(Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama ini diajarkan
bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum
pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik,
yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada
sesama manusia dalam masyarakat: "Maka barangsiapa ingin
berjumpa dengan Tuhannya, hendaknyalah ia berbuat baik, dan
janganlah dalam berbakti kepada Tuhannya itu ia
memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]
Berkaitan dengan ini, Islam memang mengenal ajaran tentang
ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah itu, korban
(qurban) adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun
pendekatan itu terjadi bukan karena materi korban itu dalam
arti sebagai sesajen, melainkan karena taqwa yang ada dalam
jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah korban itu tercermin
dalam kegunaan nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan
meringankan beban anggota masyarakat yang kurang beruntung:
"Tidaklah bakal sampai kepada Allah daging korban itu, dan
tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah
taqwa dari kamu." [18]
Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan
kepada Allah bukanlah penderitaan lapar dan dahaga itu an
sich, melainkan rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh
prihatin itu. Dengan perkatauan lain, Tuhan tidaklah
memerlukan puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang
Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah untuk
kebaikan diri kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat yang lebih luas.
Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari
amal saleh, tali hubungan dengan Allah (habl min Allah -
"hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan
dengan sesama manusia (habl min al-nas -"hablum minannas"),
taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn
al-khuluq atau al-akhlaq al karimah). Ini antara lain
ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
budi pekerti luhur." [19]
Ibadah puasa selama sebulan itu diakhiri dengan Hari Raya
Lebaran atau Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang
menggambarkan tentang saat kembalinya fitrah atau kesucian
asal manusia setelah hilang karena dosa selama setahun, dan
setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa. Dalam praktek
yang melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi
dari Lebaran itu ialah sikap-sikap dan perilaku kemanusiaan
yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan
pembayaran zakat fitrah yang dibagikan kepada fakir miskin,
diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan
besar pada shalat Id, kemudian dikembangkan dalam kebiasaan
terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat,
keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas
aspek sosial dari hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas
nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah kepada kita itu
maka pada hari Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan
kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai
Hadits mengarahkan agar pada hari Lebaran tidak seorang pun
tertinggal dalam bergembira dan berbahagia, tanpa berlebihan
dan melewati batas.
Karena itu zakat fitrah sebenarnya lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota masyarakat
untuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung,
yang terdiri dari para fakir miskin. Dari segi jumlah dan
jenis materialnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklah
begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban yang telah
disinggung di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah
maknanya sebagai lambang solidaritas sosial dan rasa
perikemanusiaan. Dengan perkataan lain, zakat fitrah adalah
lambang tanggung-jawab kemasyarakatan kita yang merupakan
salah satu hasil pendidikan ibadah puasa, dan yang kita
menifestasikan secara spontan.
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus diberi
substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek
hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usaha
mewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikan
nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna firman Allah
berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari
berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir
mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan
oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu
sekalian bersyukur. [20]
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin" (semoga kita semua tergolong
mereka yang kembali ke fitrah kita --dan yang menang-- atas
nafsu-egoisme kita).
0 komentar:
Posting Komentar