Tulisan (2) Bab VI. Manusia dan Keadilan

Menegakkan Keadilan, Mungkinkah?

TUJUAN UTAMA reformasi adalah tegaknya keadilan. Keadilan bagi siapa? Tentu saja bagi rakyat banyak atau bagi rakyat jelata. Hal ini tercermin dari Jargon yang diteriakkan dan dikumandangkan oleh para pendekar reformasi Berantas KKN. Apa itu KKN (Korupsi. Kolusi dan Nepotisme)?
Korupsi adalah tindakan seseorang atau sekelompok orang yang memanfaatkan harta berupa uang maupun" materi lainnya milik negara, milik perusahaan negara atau swasta bahkan milik rakyat untuk kepentingan atau keuntungan seseorang serta sekelompok orang yang akibatnya merugikan kehidupan rakyat.

Kolusi adalah tindakan persekongkolan atau kongkalingkong sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan hanya bagi kelompok yang bersekongkol tersebut serta merugikan negara dan rakyat banyak. Persekongkolan itu misalnya untuk membobol harta milik negara atau milik rakyat. Persekongkolan tersebut juga dapat terjadi misalnya upaya menduduki jabatan-jabatan strategis tertentu (misalnya "jabatan basah") bagi kelompok tertentu, hanya untuk mengambil keuntungan bagi se-kolompok orang tersebut. Keuntungan di sini bukan hanya keuntungan materi atau ekonomi semata-mata, melainkan dapat terjadi demi keuntungan politik atau kekuasaan sekelompok orang. Tentu saja dampaknya merugikan kepentingan rakyat banyak juga.

Nepotisme adalah tindakan yang mendahulukan kepentingan sekelompok orang pula yang khususnya didasarkan hubungan kekerabatan (sanak keluarga), bukan kepentingan orang banyak. Namun dalam perkembangannya, nepotisme dapat pula diartikan sebagai tindakan yang mendahulukan kepentingan partai dari pada kepentingan rakyat banyak.

Dalam dinamika perkembangan upaya mewujudkan reformasi yang dicetuskan lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ternyata rakyat belum menuai hasilnya. Rakyat banyak mengharapkan KKN segera hapus dari bumi Indonesia yang kita cintai ini. Namun dalam kenyataannya KKN Justru merajalela, menjadi-jadi dan boleh dikatakan makin meningkat. Baik meningkat kuntitasnya maupun kualitasnya.
Dampak lebih lanjut dari harapan rakyat yang tidak terpenuhi dengan reformasi selama ini makin menumpuk (akumulatif). Dampak yang lebih mengkhawatirkan, kekecewaan rakyat yang akumulatif tadi ibarat balon yang makin mengeras. Apabila terjadi pergesekan sedikit saja maka balon yang makinmengeras itu akan pecah!

Sekarang ini pergesekan tersebut telah terjadi. Rasa keadilan rakyat banyak tersinggung karena KKN "diper-tunjukkan" di depan mata rakyat jelata. Seolah-olah yang berbuat KKN tidak peduli lagi terhadap rasa keadilan rakyat. Mereka yang melakukan KKN bahkan bersikap angkuh. seolah-olah mereka menantang kepada rakyat bahwa keadilan itu omong kosong. Keadilan itu hanya "milik" kelompok yang kuat, kuat hartanya dan kuat kekuasaannya. Silakan rakyat berteriak sampai mulut kering!

Harapan rakyat

PEMERINTAHAN baru yang bertugas mengantarkan rakyat untuk makin menikmati kesejahteraan ternyata Jauh dari harapan rakyat. Pemerintahan baru yang telah dipercaya mengemban kedaulatan rakyat, di satu sisi rupanya silau dengan kemenangan telak yang diperoleh dan di sisi lain banyak dibon-cengi serta dikelilingi oleh kaum oportunis politik yang ingin menangguk keuntungan untuk diri pribadinya maupun kelompoknya, menyebabkan turunnya tingkat kewaspadaan pemerintah. Para pemimpin menjadi kurang tajam perasaan kalbunya sehingga kurang peka menangkap kehendak rakyat.

Rakyat banyak hanya menginginkan keadilan yang hendaknya benar-benar ditegakkan di bumi Indonesia ini. Mungkinkah? Sangat mungkin, karena seluruh rakyat Indonesia sangat mendukung penegakan keadilan. Fakta menunjukkan bahwa keadilan telah diinjak-injak. Keadilan bagi rakyat yang telah diabaikan itu seharusnya ditegakkan, akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, rasa keadilan rakyat tersebut malahan dicederai. Balon harapan rakyat yang makin padat ditusuk dengan pencederaan rasa keadilan rakyat, tentu saja yang terjadi adalah letupan. Akumulasi harapan rakyat dan pencederaan rasa keadilan rakyat bagaikan aliran banjir bandang yang membobol tanggul. Air mengalir kemana saja tidak terkendali. Bagaikan aliran air liar, kekecewaan dan rasa ketidak-adilan rakyat, menyapu apa saja yang menghalangi, termasuk etika berpolitik, rambu-rambu hukum dan pcrundang-udangan diterjang.

Anggaplah hal ini merupakan musibah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak perlu dicari siapakah yang bersalah dan siapa yang menyebabkan hal itu terjadi. Marilah seluruh komponen bangsa bersama-sama mencari cara menanggulanginya dan mencari solusinya. Tidak
perlu membuang-buang waktu untuk saling mempersalahkan antara satu dengan yang lain. Marilah seluruh bangsa Indonesia tegak bersatu padu mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan

WALAUPUN telah berkali-kali dalam rubrik "Forum Berbangsa dan Bernegara" ini dibahas mengenai "keadilan" namun ada baiknya diulangi kembali untuk dapat memahami lebih dalam pengertian keadilan itu. Adil atau keadilan artinya seimbang, tidak berat sebelah dan tidak memihak. Dalam ajaran Islam, adil digambarkan sebagai timbangan atau disebut dengan "al ml-izaan".
Semua agama mengajarkan dan mengharuskan setiap orang bertindak dan berlaku adil. Kalau di sini dikutip tentang pemahaman mengenai adil atau keadilan dari Al Quran, tidak berarti tulisan ini mengabaikan ajaran dari agama lainnya tentang keadilan.
Dalam Surah Arrahmaan (QS 55) Ayat 7 dan 8. dikemukakan bahwa (7) "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca". (8) "supaya kamu jangan melampaui batas neraca Itu.

Dua ayat yang merupakan satu kalimat ini dapat dipahami bahwa seseorang dapat melihat neraca atau timbangan (keadilan) itu miring ke kiri atau miring ke kanan Jika la berdiri di tempat
yang tinggi atau berdiri dari kejauhan. Orang yang berdiri di tempat yang tinggi memiliki horizon atau sudut pandang yang lebih luas, dibandingkan dengan orang yang bediri di tempat yang lebih rendah. Seperti seorang ahli bangunan yang ingin mengamati apakah gelegar beton yang dicor itu rata ataukah miring, ia harus melihat dari kejauhan. Untuk memahami keadilan dan bertindak adil, seseorang (pemimpin) harus dapat mengadakan distansl (jarak) dengan obyek tindakannya.
Ayat tersebut dapat dipahami pula bahwa seseorang (pemimpin) yang seharusnya menegakkan keadilan (neraca) hendaknya berpengetahuan yang luas agar pandangannya menjadi lebih luas pula dan juga perasaannya menjadi lebih peka, sehingga benar-benar dapat menghayati keadilan yang dikehendaki rakyat.

Ayat berikutnya (9) "dan tegakkanlah neraca itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi (timbangan) neraca itu". Jadi adil artinya seimbang antara beban lengan neraca kiri dan beban lengan neraca kanan. Jika salah satu beban timbangan dari kedua lengan neraca tersebut dikurangi, maka lengan neraca akan miring ke kiri atau miring ke kanan.
Ketiga Ayat dari Surah Arrahmaan ini memberikan petunjuk yang sangat Jelas bagaimana cara menegakkan keadilan baik dalam kehidupan berkcluarga.

dalam kehidupan bermasyarakat serta lebih luas lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi adil itu artinya tidak memihak dan tidak berat sebelah. Untuk dapat berlaku adil, seseorang (pemimpin) itu harus terbuka, jujur, tulus, dan ikhlas baik dalam perbuatannya maupun dalam ucapannya. Meskipun dikatakan seorang pemimpin tidak memihak, alan tetapi seorang pemimpin bangsa, pemimpin negara, dan pemimpin rakyat harus memihak kepada rakyat. Bukan memihak kepada kelompoknya, partainya atau golongannya I Keadilan yang dikehendaki adalah keadilan bagi rakyat banyak bukan keadilan bagi segelintir orang atau sekelompok orang. Hal ini yang harus dipahami oleh pemimpin dari lapisan kepemimpinan manapun, keberpihakan harus kepada rakyat !

Perubahan

PERUBAHAN masyarakat, perubahan sosial atau social change terjadi secara terus menerus dan berlanjut. Manusia sebagai warga masyarakat tidak dapat membendung perubahan sosial tersebut. Perubahan merupakan siklus sebab akibat. Perubahan menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan dampak perubahan itu kemudian akan menjadi sebab perubahan masyarakat selanjutnya, demikian seterusnya.

Walaupun perubahan senantiasa berupa siklus dan berlangsung secara progresif, namun perubahan sosial tidak pernah mengulangi hal-hal yang pernah terjadi, karena perubahan sosial selalu maju ke depan dengan memunculkan dampak atau hal-hal yang baru. Jadi masyarakat selalu berubah dan perubahan itu berlanjut, tidak pernah berhenti.

Pembangunan, pembaharuan dan modernisasi [development, reformation and modernization) secara umum berarti suatu perubahan masyarakat atau perubahan sosial yang bersistem, berencana dan bertujan mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih batk. yaitu masyarakat yang sejahtera atau bahkan lebih sejahtera.

Dengan demikian pembangunan, reformasi dan modernisasi secara umum mempunyai pengertian yang sama. Tetapi mengapa reformasi bangsa Indonesia yang telah dilaksanakan selama dua tahap dan sekarang memasuki tahap yang ketiga, hasilnya masih Jauh dari harapan rakyat Indonesia? Bahkan jika tidak segera ditangani secara sungguh-sungguh bisa jadi melenceng jauh dari apa yang menjadi harapan bangsa Indonesia!

Jawabannya marilah kita kembali

kepada pakem pembangunan, yang mengacu pada paradigma pembangunan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Reformasi adalah pembangunan, karena reformasi adalah perubahan yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia untuk membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, .yang didasarkan pada perencanaan yang bersistem dan bertahap. Tujuan utama reformasi adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemberantasan KKN itu adalah sasaran antara yang harus dicapai dalam pelaksanaan reformasi agar tujuan utama reformasi dapat diwujudkan lebih cepat dan tepat.

Tetapi kenyataan yang terjadi tidak seperti yang diharapkan! KKN Justru terjadi dengan Intensitas dan kuantitas yang lebih meningkat dibanding keadaan sebelum reformasi. Hal Inilah yang meresahkan rakyat. Memang kebebasan rakyat untuk mengemukakan pikiran dan pendapatnya telah diperoleh kembali sejak reformasi. Namun di sisi lain keadilan makin menjauh dan tidak terjangkau oleh rakyat. Keadilan sosial hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat, sedangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia makin sayup-sayup dikumandangkan, seolah-olah kehabisan tenaga.
Pada akhir tahun 2009 ini ada dua peristiwa ruhaniah yang sangat penting, baik bagi umat Muslim maupun bagi umat Kristiani. Pertama, umat Muslim memperingati tahun baru Hijri-yah. tanggal 1 Muharam 1431 Hijriyah. yangjatuh pada hari Jumat, tanggal 18 Desember 2009. Sedangkan umat Kristiani memperingati Hari Natal sebagai hari kelahiran Nabi Isa as yang Jatuh pada hari Jumat pula, tanggal 25 Desember 2009.

Sebelum matahari terbit pada tahun baru 2010. marilah bangsa Indonesia menyingsingkan lengan baju untuk bersama-sama menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepada umat Muslim, marilah hijrah kita pahami sebagai perubahan sikap mental untuk menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula kelahiran Nabi Isa a.s. marilah kita pahami sebagai kelahiran sikap dan peri laku adil serta cinta kasih terhadap sesama rakyat Indonesia.
Sehingga adil baik dalam prinsip "kemanusiaan yang adil dan beradab maupun adil dalam prinsip "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" benar-benar dapat ditegakkan dan telah terwujud pada tahun 2010. Semoga. (Hernowo Hadiwonggo, LPPKB)



KEADILAN DAN KEMISKINAN

Upaya besar penghapusan kemiskinan selalu diperhadapkan dengan pertanyaan fundamental berkenaan dengan filosofi dan strategi. Apakah filosofi dan strategi penghapusan kemiskinan saling menguatkan satu sama lain? Ataukah justru, saling bertolak belakang? Mengingat strategi penghapusan kemiskinan sangat beragam, strategi mana yang relevan dipilih demi tegaknya keadilan? Mengapa filosofi penghapusan kemiskinan acapkali bersimpang jalan dengan strategi penghapusan kemiskinan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menandai adanya persoalan pelik penghapusan kemiskinan. Semestinya, filosofi dan strategi penghapusan kemiskinan saling harmoni dan berjalan seiring satu sama lain. Tetapi memang, das sein tidak selalu sejalan dengan das solen. Apa yang senyatanya tidak selalu senafas dengan apa yang seharusnya. Anehnya, di tengah belum adanya jaminan terjadinya harmoni antara filosofi dan strategi penghapusan kemiskinan, rezim-rezim kekuasaan malah terus melontarkan retorika berisikan pembeberan "keberhasilan" menghapuskan kemiskinan.

Filosofi penghapusan kemiskinan berkaitan erat dengan keadilan. Dalam Pembukaan UUD 1945 termaktub frase "memajukan kesejahteraan umum". Frase tersebut merupakan filosofi yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan penting bernegara. Mengacu pada filosofi tersebut, berbagai strategi yang dicanangkan ke arah penghapusan kemiskinan tidak memungkinkan terjadinya negasi terhadap kesejahteraan rakyat. Penghapusan kemiskinan tidak boleh dibelokkan menjadi proyek perburuan rente. Dengan demikian, penghapusan kemiskinan tidak memungkinkan adanya pengedepanan kepentingan subyektif para pengelola negara. Maka, strategi penghapusan kemiskinan merupakan derivasi dari filosofi penghapusan kemiskinan bersukmakan keadilan.
Apakah berbagai diskursus yang muncul ke permukaan di seputar penghapusan kemiskinan benar-benar berada dalam spektrum kesadaran yang clear and distinct, sehingga segenap strategi penghapusan kemiskinan merupakan derivasi dari filosofi penghapusan kemiskinan?

Dekan Harvard Kennedy School David T. Ellwood tampil dalam Presidential Lecture di Istana Negara. Sekali lagi, sebuah diskursus berkenaan dengan penghapusan kemiskinan mencuat ke permukaan. Ellwood berbicara tentang empat syarat penghapusan kemiskinan, yaitu
(1) Pertumbuhan ekonomi yang kuat,
(2) Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif jangka panjang,
(3) Pemerintahan yang kuat dan efisien, serta
(4) Program bagi kaum miskin yang dirancang secara seksama.

Dengan diskursus ini pula kembali muncul pertanyaan Apakah filosofi dan strategi pengentasan kemiskinan berada dalam posisi harmoni, berjalan seiring satu sama lain?
Temyata, seluruh penjelasan yang dikemukakan Ellwood demi mengelaborasi empat syarat penghapusan kemiskinan itu tidak mempertautkan arti penting filosofi dan strategi. Ellwood hanya berbicara sebatas agenda pengentasan kemiskinan.
Untuk syarat pertama, ia hanya menegaskan makna "pertumbuhan ekonomi yang kuat membuka jalan ke arah penurunan angka kemiskinan secara tajam".

Untuk syarat kedua, ia hanya berbicara tentang keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam konteks "perekonomian nasional yang tidak sepenuhnya mampu menyesuaikan diri dengan perekonomian dunia yang terus terseret ke dalam perubahan-perubahan besar".
Untuk syarat ketiga, ia hanya menyinggung "pemerintahan yang kuat dan efektif menstimulasi dunia bisnis berdaya saing dengan ditunjang kelengkapan infrastruktur".
Untuk syarat keempat, ia hanya menjelaskan "keterbatasan manfaat subsidi dan bantuan tunai, dibandingkan dengan lapangan kerja yang secara riil memang memberikan penghidupan berkelanjutan terhadap kaum miskin".

Seluruh penjelasan Ellwood ini sama sekali tidak mengandung filosofi penghapusan kemiskinan. Ia hanya berbicara sebatas agenda penghapusan kemiskinan. Sehingga, kalaupun segenap rekomendasi Ellwood diimplementasikan, maka besar peluang dan kemungkinan upaya penghapusan kemiskinan berjalan linear. Diskursus Ellwood kosong dari spirit tegaknya kedaulatan rakyat Malah ia mengukuhkan kecenderungan neoliberalistik yang justru tidak memungkinkan terjadinya penghapusan kemiskinan dalam maknanya yang hakiki. Manakala semua hal yang dikemukakan Ellwood diletakkan sebagai strategi penghapusan kemiskinan, maka tragedi lama bakal terulang, di mana penghapusan kemiskinan berhenti sekadar sebagai proyek yang digerogoti perilaku korup aparat pemerintahan.

Tanpa adanya pengaitan secara kuat dengan keadilan, pengentasan kemiskinan hanyalah sebuah fatamorgana. Paradigma neoliberalistik tidak mungkin mampu memahami logika ini, mengingat tidak ada ruang keadilan bagi perekonomian neoliberalistik. Pemujaan yang terlampau berlebihan terhadap mekanisme pasar, memustahilkan paham ekonomi neoliberalistik menghargai keadilan. Mantra ekonomi neoliberalistik hanyalah efisiensi. Sejauh ada jaminan ke arah terwujudnya efisiensi, maka sejauh itu pula keadilan disinggkirkan, dilanggar dan atau ditiadakan.

Dalam spektrum persoalan luas, ketidakadilan mencetuskan kemiskinan karena dua hal.
Pertama, kebijakan ekonomi pemerintah yang abai terhadap dimensi-dimensi struktural justru melahirkan kemiskinan. Pembiaran lonjakan harga pangan, energi, tarif transportasi, dan biaya kesehatan, dengan sangat teJak memicu peningkatan inflasi. Inkam perkapita masyarakat mengalami ketergerusan secara serius. Kemiskinan menjadi tidak terelakkan kehadirannya. Kedua, tata kelola sumber daya alam yang diserahkan secara mentah-mentah kepada pemodal besar justru menutup akses bagi kaum miskin mendapatkan manfaat Ketidakadilan ini yang kemudian menggulirkan masalah kutukan sumber daya alam.
Dengan mengabaikan problema keadilan, mustahil kemiskinan bisa dihapuskan. Menafikan keadilan, penghapusan kemiskinan hanyalah simbol tanpa makna.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar