Tulisan Bab VI. Manusia dan Keadilan

Menyemai Keadilan

SEANDAINYA dunia tanpa peradilan, alangkah indahnya hidup ini. Semua tampak teratur, nyaman, tenteram, dan adil. Tentu saja tidak akan ada pak polisi, jaksa, hakim, dan penasihat hukum. Namun dunia tanpa lembaga peradilan mustahil adanya. Manusia tidak lepas dari kesalahan yang didasari oleh nafsu, kebencian, dan keinginan memiliki sesuatu yang bukan haknya.

Lembaga peradilan diharapkan mampu mengembalikan kesalahan manusia untuk kembali ke jalur benar melalui keadilan yang hakiki. Pengadilan adalah lembaga yang agung tempat diputuskan di mana salah dan benar dan nasib manusia dipertaruhkan. Akhir-akhir ini banyak putusan hakim yang mencengangkan dan mengoyak perasaan keadilan masyarakat. Alangkah tak adilnya bila lembaga peradilan tidak mengedepankan nilai-nilai keadilan ketika menjatuhkan putusan.Penegakan hukum saat ini belum memberikan rasa keadilan pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat. Inilah negeri adiluhung yang telinga-telinganya disum-bat harta dan martabat. Mulut-mulut dibungkam iming-iming dan ancaman.

Keadilan ditundukkan oleh kekuasaan dan kepentingan. Mereka kemarin yang dijarah sudah mulai pandai meniru menjarah.Mereka yang kemarin dipaksa-paksa sudah mulai berani mencoba memaksa.Negeri yang mendeklarasikan sebagai negara hukum tampak seperti negeri mafia. Beberapa di antaranya yang baru terungkap mafia pajak, mafia kehutanan, dan mafia migas. Berapa banyak kekayaan yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat terkuras karena praktik mafia. Mafia kelas kakap dapat berpotensi merugikan keuangan negara, meng-ganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik suatu negara. Bahkan pada tingkat yang lebih jauh dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia (human security) karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan, keagamaan, dan fungsi-fungsi sosial lainnya.

Mafia dilakukan oleh oknum yang sehari-harinya adalah pejabat. Mereka mempunyai jaringan kerja sama yang pada hakikatnya berorientasi mencari keuntungan dengan menghalalkan segala acara. Hukum hanya digunakan sebagai alat yang mengorbankan rasa keadilan masyarakat. Oknum pejabat, apa yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan jabatannya. Mereka menyalahgunakan jabatan. Ketika menjabat sungguh perbuatannya adalah konstitusional. Di kursi kehormatan, perbuatannya adalah terang terbuka dan berdasarkan peraturan. Akan tetapi sebagai oknum pejabat eksistensinya abstrak. Sebagai pejabat, jabatannya adalah wadah segala keadilan dan kebenaran. Sebagai oknum, mereka adalah tumpuan suap.

Oknum tidak punya wajah, oleh karenanya dia tidak punya rasa malu, aib, dan dosa. Begitu banyak di negeri ini yang bernama oknum.penyebab utamanya? Banyak faktor yang saling berkaitan tetapi kesemuanya bermuara pada satu kata yaitu "rakus".Negeri ini sedang dilanda masalah ketidakadilan dalam ukuran sangat masif. Keadilan menjadi pengabdian yang ada di telapak kaki mereka yang menunggu upeti. Keadilan adalah kebenaran menurut selera pemegang kekuasaan yang tidak bisa diperdebatkan dengan pasal-pasal hukum. Keadilan adalah harapan yang tak pernah selesai dibicarakan namun selalu sima diterpa kenyataan. Begitu banyak orang ha-rus mati atas nama keadilan. Dimanakah hakim yang berani melawan sutradara karena bertentangan dengan nuraninya sebagai penegak hukum dan keadilan.

Kalaupun ada yang masih berani dan idealis, biasanya tersingkir dan terisolasi. Bahkan putusan yang dilahirkan akan dinafikan oleh uang dan kekuasaan. Padahal keberanian melawan arus terasa mengobati kehausan akan kebenaran dan keadilan. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, sering kali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Hukum negeri ini telah ambruk yang hanya ditunjang oleh perangkat hukum yang morat-marit serta inter-prestasi dangkal.

Awalnya, pengadilan merupakan mitos tentang agen-agen yang jujur. Di tangan merekalah keadilan dibagikan dan nasib seseorang ditentukan. Apabila ingin menjadikan pengadilan sebagai bagian dari memberi keadilan kepada masyarakat, berarti rakyat harus benar-benar merasa bahwa hukum itu memang memberi keadilan yang menjadi output utama, yang akan ditukarkan dengan input motivasi masyarakat yang mengakui pengadilan se-bagai struktur penyelesaian persoalan. Pengadilan harus mampu menjadi pilar hukum, artinya seberapa besar putusan pengadilan memberikan jawaban terhadap kegelisahan masyarakat.

Keputusan pengadilan akan terlihat menjadi pusat sistem hukum. Putusan hakim dianggap menjadi mahkota pencerminan nilai-nilai keadilan, hak asasi, penguasaan hukum secara mapan, mumpuni, faktual, dan merupakan visualisasi etika. Keputusan-keputusan pengadilan yang demi kepentingan KKN dengan sendirinya tidak akan memenuhi kepentingan dan keadilan umum, bahkan menimbulkan kerugian umum.Oleh karena itu, perlu upaya untuk merombak struktur penguasa yang tidak memiliki kemauan untuk memenuhi kepentingan dan keadilan masyarakat umum. Cara yang dipakai adalah dengan mengubah/me-reformasi penguasa berikut peraturan perundang-undangan agar dapat memenuhi tuntutan kepentingan umum sehingga tercapai suatu keadilan sebagai kebahagiaan umum.
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak {independent and impartial judiciary) mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapa pun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai mulut undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga mulut keadilan yang menyuarakan perasaan keadil-an yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Hukum yang baik memerlukan awak pelaksana yang baik, maka reformasi hukum harus dibarengi dengan pendidikan hukum dan pendidikan profesi hukum. Sifat keadilan dan hukum adalah fiatjustitia etpere-at mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Apa pun yang terjadi hukum demi keadilan harus tetap ditegakkan. Mari bersama menyemai keadilan dengan bimbingan wahyu Ilahi untuk menyirami negeri yang haus dahaga ini. Semoga keadilan bukan sekadar dongeng legenda kahyangan dewa-dewi yang mengasyikkan bagi anak-anak yang sedang berangkat tidur malam.***Penulis, kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Unisba.



Keadilan Sebagai Sunatullah

Konsep tentang adil dan keadilan dalam agama Islam mendapatkan porsi yang begitu penting. Dalam Alquran, tercatat sekitar 56 ayat yang berbicara soal keadilan. Dalam bahasa Arab, keadilan disebut sebagai al-Adalah. Pengertiannya adalah keadilan dalam semua cakupan.

Ayat-ayat Alquran yang menyerukan pentingnya adil dan keadilan antara lain adalah "haruslah berlaku adil" (QS An-Nisa [4] 135, Al-Maidah [5] 8. Al-Anam [6] 152, An-Nahl [16]90); "wajib berlaku adil dalam perniagaan" (QS Al-lsra [17] 35); "adil terhadap lawan" (An-Nisa [4] 105, Al-Maidah [5] 8); dan "pernyataan Allah tentang keadilan-Nya" (Ali Imran [3] 18).

Dalam etika pergaulan manusia, tiada prinsip yang didambakan umat sepanjang sejarah, seperti keadilan. Istilah adil berasa! dari bahasa Arab yang berarti tengah atau seimbang. Keadilan artinya mizan (kesimbangan), yakni suatu sikap tak be ri eb i h-l eb ih-an yang terkait dengan sifat kearifan.
Prof Muhammad Abu Zahrah membagi keadilan dalam tiga bagian, yakni keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan global. Keadilan hukum adalah diberlakukannya hukum secara merata kepada semua strata sosial yang ada. Tidak membedakan yang kaya ataupun yang papa, yang mulia ataupun yang hina. Semua orang di depan hukum dan perundangan adalah sama.

Keadilan sosial adalah sesuatu yang menuntut setiap individu dalam suatu kelompok agar dapat hidup secara terhormat tanpa ada tekanan dan halangan serta mampu memanfaatkan kemampuan sesuai dengan apa yang berfaedah bagi diri dan orang lain sehingga bisa berkembang secara kolektif. Keadilan global ialah prinsip utama sebagai landasan ditegakkannya hubungan antara kaum Muslimdan non-Muslim.
Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang sangat tinggi dalam sistem perundang-undangannya. Tiada bukti keadilan yang begitu komplet, kecuali dalam ayat Alquran. Dari situ, jelas kiranya kedudukan prinsip keadilan dalam Islam.

Dalam kasus keluarga, misalnya, Alquran menyebutkan, "Jika kamu sekalian takut berlaku tidak adil, ambillah seorang istri saja." (QS An-Nisa [4]3). Dalam skala kecil, yakni unit keluarga saja, kita diperintahkan untuk adil.
Keadilan itu harus menjadi pertimbangan seseorang dalam mengambil keputusan untukpoligami atau tidak. Maka itu, adanya sikap seperti itu sebenarnya dimaksudkan agar tindakan seseorang tidak berakibat merugikan orang lain. Bukankah adil itu berarti meletakkan sesuatu secara proporsional pada tempatnya?

Kewajiban berlaku adil dalam penulisan kontrak kerja sama bidang niaga (muamalah) juga secara tegas dijelaskan dalam Alquran. Kontrak perjanjian kerja, sewa-menyewa, atau utang-piutang itu harus ditulis secara jelas dan adil demi melindungi hak masing-masing pihak yang terkait. Keadilan merupakan sunatullah yang tidak dapat



MEMPERKUAT KOMITMEN KEADILAN

Kalau dicermati secara seksama, soal "rasa keadilan masyarakat" selalu menjadi faktor di balik merebaknya kontroversi atas beberapa kejadian yang menyita perhatian publik belakangan ini. Persoalan yang tengah bergulir yakni dana aspirasi DPR merupakan salah satu contoh dimaksud. Kendati kontroversi yang mengemuka di seputar persoalan ini mengacu pada soal politik uang, pemborosan keuangan negara, persoalan antara dapil di pulau Jawa dengan di luar pulau Jawa, namun semuanya bermuara pada terkoyaknya rasa keadilan masyarakat. Di sana, rakyat merasakan bahwa ada pihak tertentu yang tengah berupaya mengoyak rasa keadilan itu. Itu sebabnya, muncul pertanyaan, seberapa kuat komitmen keadilan para pemimpin dan elite kita saat ini?

Masih banyak bukti konkret yang menunjukkan betapa publik begitu sensitif dan reaktif menyikapi ketidakadilan yang terjadi. Selain contoh di atas, masih ada kasus Bibrt-Chandra, Susno Duadji, hingga kasus pajak yang melibatkan Gayus dan sejumlah aparat kepolisian dan pengacara. Sensitivitas dan reaksi publik itu menunjukkan bahwa sesungguhnya keadilan tidak dapat ditukar dengan apapun kecuali dengan keadilan itu sendiri. Dan, keadilan adalah obat satu-satunya bagi ketidakadilan. Inilah konstruksi berpikir dan bertindak yang mesti dipegang oleh setiap elite pemerintah, politisi, dan para decision maker. Komitmen keadilan dimaksud tentu tidak hanya diwacanakan, melainkan diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik yang berkeadilan.

Korupsi, perda bermasalah, dan berbagai tindakan lain yang mengusik rasa keadilan masyarakat merupakan bentuk ketidakadilan yang menghukum rakyat karena menjauhkan keadilan dari jangkauan mereka. Ketika Fraksi Golkar mengusulkan dana aspirasi, di balik usul itu ada rasa keadilan yang terusik. Mengapa anggota DPR yang menerima gaji yang tinggi masih meminta dana aspirasi? Bukankah menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat adalah kewajiban setiap wakil rakyat yang inheren di dalam hak-hak istimewa mereka? Jika didalilkan dana aspirasi akan digunakan untuk pembangunan di daerah, seberapa signifikan dana itu dapat meningkatkan pembangunan di daerah? Apakah penyaluran dana aspirasi yang sudah dilakukan di Sumatera Barat sejak beberapa tahun lalu berkontribusi secara signifikan bagi pembangunan di daerah itu?

Demikian pula, penjatuhan hukuman penjara dan denda kepada pelaku tindak pidana korupsi yang merugikan negara miliaran rupiah mungkin saja dianggap sebagian kalangan telah mengembalikan keadilan pada posisinya semula. Sesungguhnya tidak. Sebab, selama ekses atau akibat yang ditanggung rakyat dari terjadinya korupsi itu tidak sepadan dengan dampak yang dirasakan oleh koruptor, maka keadilan tetap saja tidak terpulihkan. Itu sebabnya, di media ini telah berulang kalidikemukakan, bahwa sebaik-baik cara pemberantasan korupsi adalah menutup peluang bagi terjadinya korupsi. Salah satu tugas dan kewajiban KPK adalah mencegah terjadinya korupsi. Tetapi, sejauh ini, pencapaiannya masih jauh dan harapan. KPK masih lebih banyak bertindak sebagai pemadam kebakaran.

Gagasan untuk memperkuat komitmen keadilan sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Kritikan bertubi-tubi yang dialamatkan kepada lembaga penegak hukum, pemerintah, elite politik merupakan upaya untuk mengimbau pihak-pihak tersebut agar memperkuat komitmen keadilan mereka. Kalau di sini kita menggunakan kata komitmen keadilan, itu artinya kini mesti digunakan bahasa atau istilah yang lebih tajam dan menukik langsung kepada persoalan. Tanpa mengurangi penghargaan kepada segelintir pihak yang telah berbuat untuk maksud ini, rasanya komitmen keadilan itu masih jauh dari harapan. Lahirnya berbagai kebijakan yang kemudian memproduksi, bahkan mereproduksi ketidakadilan merupakan wujud konkret rendahnya komitmen elite bangsa pada keadilan. Citarasa keadilan lalu hanya dapat dinikmati segelintir warga bangsa, sedangkan sebagian besar lainnya terpaksa dan dipaksa menelan pil pahit ketidakadilan.

Komitmen keadilan para elite bangsa mesti diperkuat agar tidak goyah oleh kepentingan pragmatis berjangka pendek. Untuk itu, para elite kita itu mesti menengok kembali asal mula pendirian negara. Dokumen historis kita sebetulnya dapat menjadi referensi bagaimana para pendiri negeri meletakkan komitmen keadilan itu pada posisi yang sangat tinggi dan sakral.

Cermatilah, kata "adil" dan "keadilan" disebut sebanyak dua kali di dalam Pancasila dan lima kali di dalam Pembukaan UUD 1945. Ini bukti otentik bahwa para pendiri negara menjadikan keadilan sebagai butir kesepakatan di atas mana bangunan Indonesia merdeka diletakkan.

Penting dicamkan, sejauh apapun kita melangkah, segencar apapun kita berupaya membangun negeri ini dengan dalih menyejahterakan rakyat, semua itu tidak akan tercapai selama ideologi negara Pancasila tidak dijadikan acuan pokoknya. Begitu pentingnya keadilan di mata pendiri Republik sehingga ia diberikan tempat tersendiri di dalam Pancasila, yang kelahirannya diperingati pada 1 Juni lalu. Sebagai philosophischegrondslag, dasar dan ideologi negara, Pancasila mestinya menjadi sumber acuan bagi kita dalam berbangsa dan bernegara. Sayangnya, hingga kini, hal itu tidak pernah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, semakin panjang usia Republik ini, semakin banyak dan tinggi pula halangan yang merintanginya. Membangun komitmen keadilan hanya dapat dilakukan jika Pancasila dijadikan sebagai sumber acuan tertinggi.

Kendati kontroversi yang mengemuka di seputar persoalan ini mengacu pada soal politik uang, pemborosan keuangan negara, persoalan antara dapil di pulau Jawa dengan di luar pulau Jawa, namun semuanya bermuara pada terkoyaknya rasa keadilan masyarakat. Korupsi, perda bermasalah, dan berbagai tindakan lain yang mengusik rasa keadilan masyarakat merupakan bentuk ketidakadilan yang menghukum rakyat karena menjauhkan keadilan dari jangkauan mereka. Sebab, selama ekses atau akibat yang ditanggung rakyat dari terjadinya korupsi itu tidak sepadan dengan dampak yang dirasakan oleh koruptor, maka keadilan tetap saja tidak terpulihkan. Kalau di sini kita menggunakan kata komitmen keadilan, itu artinya kini mesti digunakan bahasa atau istilah yang lebih tajam dan menukik langsung kepada persoalan.

Dokumen historis kita sebetulnya dapat menjadi referensi bagaimana para pendiri negeri meletakkan komitmen keadilan itu pada posisi yang sangat tinggi dan sakral. Begitu pentingnya keadilan di mata pendiri Republik sehingga ia diberikan tempat tersendiri di dalam Pancasila, yang kelahirannya diperingati pada 1 Juni lalu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar