Tulisan Bab XI. MANUSIA HIDUP DAN KEMATIAN


KEMATIAN , MOTIVATOR UNTUK HIDUP LEBIH BAIK

Cara seseorang memandang kematian memengaruhi perilakunya dalam hidup. Demikian kesimpulan sebuah studi yang diterbitkan dalam edisi Psychological Science edisi mendatang.

Para peneliti meminta sebagian orang yang berpartisipasi dalam penelitian untuk memandang kematian secara umum. Sementara itu, sebagian partisipan lain diminta memandang kematian secara personal, terjadi pada mereka. Peneliti mendapati orang yang memandang kematian secara personal lebih memperhatikan masalah sosial.

Penelitian dilakukan oleh E.R. Blackie, mahasiswa doktoral di University of Essex, dan pembimbingnya Philip J. Cozzolino dengan melibatkan 90 orang di Inggris. Sebagian orang diminta untuk menjawab pertanyaan umum mengenai kematian, seperti pandangan dan perasaan mereka tentang kematian, serta hal yang akan terjadi setelah mereka meninggal. Sebagian lagi diminta untuk membayangkan mereka meninggal di dalam kebakaran sebelum diminta menjawab pertanyaan mengenai cara mereka menghadapi pengalaman tersebut  dan reaksi keluarga saat mendengar berita kematian mereka.

Setelah menjawab pertanyaan, mereka diberikan artikel tentang donor darah. Sebagian partisipan diberi artikel berisi bahwa jumlah darah hasil donasi sedang tinggi-tingginya padahal permintaan sedang tidak banyak. Sementara itu, partisipan lain diberi artikel dengan kondisi sebaliknya, donasi sedang rendah padahal permintaan sedang banyak.

Selesai membaca, partisipan ditawari selebaran yang menawarkan akses cepat, tanpa perlu antre, ke sebuah acara donor darah yang digelar hari itu juga. Mereka hanya boleh mengambil selebaran hanya jika mereka ingin mendonor.

Hasilnya? Orang yang diminta memandang kematian secara umum berniat mendonor setelah membaca artikel tentang rendahnya stok darah. Sementara itu, sebagian besar orang yang diminta memandang kematian secara personal berniat mendonor darah, tak peduli artikel apa yang mereka baca.

Penelitian mendapati bahwa kematian adalah motivasi yang sangat kuat. "Orang sadar kalau hidup ini terbatas sehingga mereka termotivasi untuk menghargai hidup dan berusaha mencapai tujuan yang mulia," kata Blackie. Ia juga menambahkan, orang yang berpikir kematian secara abstrak memang takut mati, tapi orang yang berpikir secara spesifik, "membuat orang berpikir lebih dalam tentang kematian dan menjalani hidup sepenuhnya." 






MENJEMPUT KEMATIAN 

Ada satu kepastian diantara ketidakpastian dalam kehidupan manusia. Dimana secara sadar atau tidak, manusia sesungguhnya menuju kepadanya. Tidak perduli apakah ia siap atau tidak, tua atau muda, cepat atau lambat. Bagi sebagian manusia, ia hanyalah proses alamiah dalam sebuah kehidupan. Menjadi akhir peristirahatan dari segala kegalauan. Bagi sebagian lain ia adalah awal dari sebuah kehidupan. Itulah kematian.

Ibarat sebuah sungai, muaranya merupakan merupakan pintu gerbang samudra. Begitu pula dengan kematian, ia adalah muara bagi pintu gerbang samudra kehidupan yang luas dan kekal. Tiada hal yang membuat Basuki (30) curiga bahwa pada awal November 2002 di Jalan Gatot Subroto, Jakarta lalu merupakan hari terakhirnya merasakan kehidupan setelah sedan yang ditumpanginya ditabrak Panther. Begitu pula dengan seorang jama’ah haji yang pada saat itu bersama penulis sedang menempuh perjalan menuju Madinah. Iapun tidak menyangka bahwa itulah perjalanannya yang terakhir setelah menyelesaikan prosesi haji dan sholat dzuhur hari itu. 

Sesungguhnya manusia telah memilih bagaimana akhir kehidupannya. Dan pilihan itu ada pada bagaimana ia menjalani kehidupannya. Sebagaimana ia menjalani kehidupannya seperti itulah kemungkinan besar ia akan menghadapi kematiannya. Karena sesungguhnya dengan menjalani kehidupan berarti kita sedang berjalan menuju kematian kita. 

Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri darinya itu, pasti akan menemui kamu, kemudian kamu semua akan dikembalikan ke Dzat yang Maha Mengetahui segala yang ghaib serta yang nyata.’ (QS. Jum’ah:8). 

Orang-orang yang berfikir secara kerdil dan menjatuhkan diri kepada keduniawian akan berlari dengan segala kemampuan yang ada dari kematian. Kematian merupakan momok yang menakutkan yang akan mengambil segala yang telah diusahakan selama hidupnya. Padahal jauh berabad-abad dahulu Rasulullahpun telah mengingakan akan kematian dalam sebuah sabdanya :
Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian). (HR. Tirmidzi) 

Sementara manusia-manusia yang cerdas menjadikan kehidupannya bukan hanya sebagai sarana menghadapi dan mempersiapkan kematian namun menjemput kematian melalui seni kematian. Paradigma seni kematian memang masih aneh dalam fikiran masyarakat saat ini. Kematian hanyalah kematian. Bagaimana mungkin sesuatu yang nafsu membenci bertemu dengannya menjadi sesuatu yang jiwa bergairah berjumpa dengannya ? Inilah salah satu ajaran Islam yang agung, mengatur dari hal-hal kecil kehidupan sampai kenegaraan, dari awal memulai kehidupan sampai bagaimana menjemput kematian dalam koridor-Nya. 

Bagi orang-orang cerdas ini, kematian adalah panglima nasihat dan guru kehidupan. Sedikit saja ia lengah dari memikirkan kematian maka ia telah kehilangan guru terbaik dalam hidupnya. Inilah yang membuat seorang Sayyid Qutb berkata di tiang gantungan Rezim Pemerintah Gamal Abdun Naser berkata, ”Hiduplah Anda dalam keadaan mulia, atau matilah dalam keadaan mati syahid”.
Seni kematian yang paling indah juga dicontohkan para sahabat dalam membela risalah Islam dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. 

Cukuplah kematian itu sebagai penasehat. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Secerdas-cerdasnya manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang yang benar-benar cerdas dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat. (HR. Ibnu Majah)

Sekarang adakah dalam hati kita kematian itu sebagai penasihat terbaik kita dan memulai menata hati, jiwa dan raga untuk menjemput kematian dengan seni kematian yang begitu indah dalam Islam. Semoga, selagi masih ada waktu.


Puisi Dan Syair  Syair Kematian – Al-Ghazali Syair Kematian – Al-Ghazali  

Syair Kematian Al Ghazali memberikan oranges dari kain al ghazali memberikan oranges . Sedarlah, Wahai orang yang tertipu! Mengapa kamu masih riang bermain, terlena dengan angan-angan. Padahal ajal di depan matamu! Bukankah kamu mengetahui bahwa ambisi manusia adalah lautan luas tak bertepi. Bahteranya adalah dunia. Maka berhati-hatilah jangan sampai karam! Yakinlah! Bahwa kematian pasti menjengukmu bersama segala kepahitannya. Ingatlah detik-detik itu, ketika kamu memberikan wasiat, sedangkan anak-anak yang bakal menjadi yatim Dan ibunya yang akan kehilangan suami tercinta menangis pilu berlinang air mata. Ia tenggelam dalam lautan kesedihan, seraya memukul-mukul wajahnya. Disaksikan para lelaki, padahal sebelumnya ia adalah mutiara yang tersimpan rapi. Kemudian setelah itu, dibawalah kain kafan kepadamu. Akhirnya! Diiringi isak tangis dan derai air mata, Jasadmu dikebumikan . 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tulisan Bab VIII. Manusia dan Tanggung Jawab


PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN

Sebegitu  jauh  kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa
sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab
pribadi.  Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri
mengisyaratkan  adanya  aspek  sosial  dalam  perwujudan  pada
kehidupan  nyata  di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab
sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang  sama,  yang
sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa
dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab  itu  tidak  bisa
dipisahkan,  sehingga  tiadanya  salah satu dari keduanya akan
mengakibatkan peniadaan yang lain.

Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan  bahwa  salah
satu  hikmah  ibadah  puasa  ialah  penanaman rasa solidaritas
sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan  bahwa
ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik
sebanyak-banyaknya,  terutama  perbuatan  baik  dalam   bentuk
tindakan  menolong  meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu
zakat, sedekah, infaq, dll.

Dari sudut  pandangan  itulah  kita  harus  melihat  kewajiban
membayar  zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang
akhir bulan suci itu.  Seperti  diketahui,  fithrah  merupakan
konsep  kesucian  asal  pribadi  manusia, yang memandang bahwa
setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci  bersih.  Karena
itu  zakat  fitrah  merupakan  kewajiban  pribadi  berdasarkan
kesucian  asalnya,  namun  memiliki  konsekuensi  sosial  yang
sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap
zakat atau  "sedekah"  (shadagah,  secara  etimologis  berarti
"tindakan  kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan
bagi golongan fakir-miskin  serta  mereka  yang  berada  dalam
kesulitan  hidup  seperti  al-riqab  (mereka yang terbelenggu,
yakni, para budak; dalam istilah modern dapat  berarti  mereka
yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun
(mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang
yang  terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan
beban  hidup  mereka.  Sasaran  zakat  yang  lain  pun   masih
berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan
umum atau sosial, seperti  sasaran  amil  atau  panitia  zakat
sendiri,  kaum  mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan
Allah),   kepentingan    masyarakat    dalam    artian    yang
seluas-luasnya.

Sebenarnya  dimensi  sosial  dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab  Suci,
yaitu  taqwa.  Dalam  memberi penjelasan tentang taqwa sebagai
tujuan puasa  itu,  Syeikh  Muhammad  'Abduh  menunjuk  adanya
kenyataan  bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan
puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan  utama
"membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar
senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam  urusan  hidup
mereka  di  dunia  ini.  Ini sejalan dengan kepercayaan mereka
bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan
diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.

Cara  pandang  kaum  musyrik  itu  merupakan konseknensi faham
mereka  tentang  Tuhan  sebagai  yang  harus  didekati  dengan
sesajen,   berupa   makanan  atau  lainnya  (termasuk  manusia
sendiri) yang "disajikan" kepada  Tuhan.  Altar  di  kuil-knil
bangsa  Inka  di  banyak  bagian  Amerika  Selatan, umpamanya,
menunjukkan adanya praktek  "ibadat"  mendekati  Tuhan  dengan
sesajen    berupa   korban   manusia.   Demikian   pula   pada
bangsa-bangsa  lain,  praktek  serupa  juga   tercatat   dalam
sejarah,   seperti  pada  bangsa-bangsa  Mesir  kuna,  Romawi,
Yunani, India, dll.

Hal  itu  tentu  berbeda  dengan  ajaran  agama  Tawhid   yang
mengajarkan  manusia  untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya
(Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama  ini  diajarkan
bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum
pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik,
yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada
sesama  manusia  dalam  masyarakat:  "Maka  barangsiapa  ingin
berjumpa  dengan  Tuhannya,  hendaknyalah ia berbuat baik, dan
janganlah   dalam   berbakti   kepada    Tuhannya    itu    ia
memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]

Berkaitan  dengan  ini,  Islam  memang mengenal ajaran tentang
ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah  itu,  korban
(qurban)  adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun
pendekatan itu terjadi bukan karena materi  korban  itu  dalam
arti  sebagai  sesajen,  melainkan karena taqwa yang ada dalam
jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah  korban  itu  tercermin
dalam  kegunaan  nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan
meringankan beban anggota masyarakat  yang  kurang  beruntung:
"Tidaklah  bakal  sampai  kepada  Allah daging korban itu, dan
tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah
taqwa dari kamu." [18]

Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan
kepada Allah bukanlah penderitaan  lapar  dan  dahaga  itu  an
sich,  melainkan  rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh
prihatin  itu.  Dengan   perkatauan   lain,   Tuhan   tidaklah
memerlukan  puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang
Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah  untuk
kebaikan  diri  kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat yang lebih luas.

Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari
amal  saleh,  tali  hubungan  dengan  Allah  (habl min Allah -
"hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan  dari  hubungan
dengan  sesama  manusia  (habl min al-nas -"hablum minannas"),
taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn
al-khuluq   atau   al-akhlaq  al  karimah).  Ini  antara  lain
ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
budi pekerti luhur." [19]

Ibadah puasa selama sebulan  itu  diakhiri  dengan  Hari  Raya
Lebaran  atau  Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang
menggambarkan tentang saat  kembalinya  fitrah  atau  kesucian
asal  manusia  setelah  hilang karena dosa selama setahun, dan
setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa.  Dalam  praktek
yang  melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi
dari Lebaran itu ialah sikap-sikap  dan  perilaku  kemanusiaan
yang  setulus-tulusnya  dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan
pembayaran zakat fitrah yang dibagikan  kepada  fakir  miskin,
diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan
besar pada shalat Id, kemudian  dikembangkan  dalam  kebiasaan
terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat,
keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas
aspek  sosial  dari  hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas
nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah  kepada  kita  itu
maka  pada  hari  Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan
kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai
Hadits  mengarahkan  agar  pada hari Lebaran tidak seorang pun
tertinggal dalam bergembira dan berbahagia,  tanpa  berlebihan
dan melewati batas.

Karena  itu  zakat  fitrah  sebenarnya  lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota  masyarakat
untuk  berbagi  kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung,
yang terdiri dari para fakir  miskin.  Dari  segi  jumlah  dan
jenis  materialnya  sendiri,  zakat  fitrah  mungkin  tidaklah
begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban  yang  telah
disinggung  di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah
maknanya  sebagai  lambang   solidaritas   sosial   dan   rasa
perikemanusiaan.  Dengan  perkataan  lain, zakat fitrah adalah
lambang  tanggung-jawab  kemasyarakatan  kita  yang  merupakan
salah  satu  hasil  pendidikan  ibadah  puasa,  dan  yang kita
menifestasikan secara spontan.

Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus  diberi
substansi  lebih  lanjut  dan  lebih besar dalam seluruh aspek
hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta  usaha
mewujudkan  masyarakat  yang  sebaik-baiknya,  yang berintikan
nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna  firman  Allah
berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:

    Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari
    berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir
    mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan
    oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu
    sekalian bersyukur. [20]

"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin"  (semoga  kita  semua  tergolong
mereka  yang  kembali  ke fitrah kita --dan yang menang-- atas
nafsu-egoisme kita).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS