Tulisan Bab V. Manusia dan Penderitaan

TULISAN BAB V. MANUSIA DAN PENDERITAAN

PENDERITAAN

Penderitaan itu sesungguhnya mirip-mirip dengan kebahagiaan. Hanya saja, kalau kebahagiaan menyenangkan, penderitaan itu menjengkelkan. Kebahagiaan dan penderitaan yang kita rasakan itu bisa luntur. Sama-sama tidak kekal dan sama-sama menjadi beban mental. Mirip-mirip sesungguhnya, hanya yang satu menyenangkan, yang satu menjengkelkan.

Memang menjadi kewajiban kita untuk mencari sebabnya,” Apakah yang menyebabkan saya menderita?” . Kemudian kita berusaha untuk mengatasi. Dan kalau kita tidak bisa mengatasinya, atau tiba-tiba timbul perasaan yang tidak senang, biarkanlah saja. Kita gunakan kesadaran kita, kita gunakan perhatian kita untuk menyadari bahwa sekarang ini saya sedang tidak senang , sedang menderita, sedang jengkel, sedang marah, suasana batin kita sedang tidak baik. Kita sadari saja. Biarkan saja. Karena secara alami, secara natural, dengan tidak perlu ditangkal, tidak perlu disingkirkan, perasaan tidak bahagia, perasaan yang tidak senang itu, yang menjengkelkan itu, rasa bosan itu nanti akan turun dengan sendirinya, tenggelam sendiri. Perasaan bosan itu nanti juga akan bosan sendiri dan kemudian lenyap.

Kesulitan itu kalau dihadapi, disadari, akan menjadi biasa. Karena semua itu adalah perubahan. Perubahan yang menyenangkan menjadi yang tidak menyenangkan, kita namakan penderitaan. Padalah kalau kita melihat, sebenarnya hal itu adalah proses perubahan semata.

Cobalah mengamat-amati penderitaan itu, “ Mengapa saya menderita?” Kalau kita tidak mau melakukan cara pengamatan ini, penderitaan tidak akan berhenti. Mengapa? Karena kita akan masuk ke dalam lingkaran setan. Kita kecewa di sini, kita pergi ke sana, mencari yang tidak mengecewakan kita, lalu kita senang di sana. Nanti di sana kita kecewa, kita pergi ke tempat lain. Nah, di situ kita mendapatkan kesenangan lain. Di tempat itu kita menderita, kecewa, jengkel, lalu kita pergi lagi mencari yang lain. Demikian seterusnya, tidak akan ada habis-habisnya.

Kita terus mengalami penderitaan. Karena kita hanya menghindar dan menghindar, lari mencari yang lain. Tidak pernah berusaha mempunyai pengetahuan,” Mangapa saya menderita?” Selama iita tidak mempunyai pengetahuan mengapa saya menderita, kita akan menderita terus-menerus. Karena cara kita menghadapi penderitaan itu hanya menutupi saja. Menutupi semua yang membuat kita tidak senang, kecewa, jengkel, membuat marah. Kita selalu menutupi untuk sementara. 

Usaha kita senantiasa kita kerahkan untuk mencari yang lain, yang bisa membuat kita senang, bahagia, dan puas. Kalau sesuatu membuat kecewa, tidak senang , bosan, kemudian ditutupi, cari yang lain , begitu seterusnya. Semakin banyak kita mempunyai uang, kekuasaan, serta fasilitas, makin keras kita mencarinya. Memang itu sangat wajar. Siapakah yang mau menderita? Kita tidak mau menderita. Tetapi, cara agar tidak menderita, cara untuk menghentikan penderitaan itu tidaklah bijak, tidak tepat, sehingga bukannya menghentikan penderitaan, tetapi terus mengulangi dan menimbulkan penderitaan kembali.

Bukankah begitu yang lazim dilakukan? Agar supaya tidak mengalami penderitaan, tidak mengalami kekecewaan, tidak mengalami rasa tidak senang, maka kita mencari yang lain, mengubah sana, pergi sana, pergi sini. Hal ini kita lakukan supaya dapat senang dan bahagia secara terus. Tetapi, harus diingat bahwa senang dan bahagia itu akan berubah menjadi bosan, lalu menderita.    


SIAP MENERIMA PERUBAHAN

Siap  menerima perubahan adalah sesuatu yang amat-amat sulit. Bisa bertemu dengan makhluk halus, jin, setan, itu tidak gampang. Apalagi bisa kontak, bisa berbicara, itu sulit sekali. Tetapi yang lebih sulit dari berkomunikasi dengan makhluk halus adalah siap menerima perubahan. Itu lebih sulit dari melihat makhluk halus. Lebih sulit dari bisa berkomunikasi dengan makhluk halus. 

Kalau misalnya seorang teman kita memakai pakaian putih-putih, tiba-tiba bertemu dengan kita. Kita bertanya, ”Dari mana siang-siang begini?” “Saya baru saja melayat teman saya. Tadi malam masih bermain catur, masih tertawa-tawa, masih omong-omong. Eh, tadi pagi setelah bangun tidur, duduk, tiba-tiba meninggal. Saya merasa kehilangan. Saya tidak habis berpikir mengapa bisa begitu? Saya merasa terpukul.” Kita mungkin bisa mengatakan,” Tidak perlu terpukul, memang dalam hidup ini kelahiran selalu berpasangan dengan kematian.” Kita bisa menasihati dengan arif, tenang, dan bijaksana. 

Tetapi, kalau nanti ada utusan yang memberitahukan kita bahwa ibu, atau suami, atau anak kita meninggal, bisakah kita bersikap arif? “ Ya, dalam kehidupan ini lahir pasti berpasangan dengan mati.” Kita sulit bicara begitu; karena ada kemelekatan, karena ada kerinduan. Kita sulit menghadapi suami meninggal, istri sakit, anak meninggal, rumah terbakar, mobil rusak, sulit sekali. Dipecat dari kedudukan, terkena PHK, diturunkan pangkatnya, sulit sekali menerimanya. Ini lebih sulit bila dibandingkan dengan kemampuan melihat makhluk halus.

Kalau kita membiasakan mengenal bahwa hidup ini perubahan, maka stress akan turun. Saya mengatakan bahwa senang sekali, lengket, melekat pada sesuatu itu adalah hal yang tidak masuk akal, tidak logis. Bukan karena ajaran agama tidak membolehkan, tetapi karena hal itu tidak masuk akal, tidak logis. Kerapkali kita melekat pada sesuatu yang bisa berubah, baik pada orang, pada benda, keadaan, atau suasana. Semua itu bisa berubah. Mengapa melekat pada sesuatu yang bisa berubah? Bukankah akan menjadi sumber penderitaan, sumber kekecewaan.

Yang masuk akal adalah kalau kita bisa melekat, cinta sekali, suka sekali, pada sesuatu yang kekal. Itu baru masuk akal, karena tidak akan menjadi sumber penderitaan. Tetapi, kalau melekat pada sesuatu yang bisa berubah, itu tidak logis, tidak  masuk akal. Kalau melekat pada sesuatu yang bisa berubah, nanti jika yang disenangi, yang dilekati itu berubah merosot atau rusak, kecewalah kita. Dan segala sesuatu pasti berubah! Di dunia ini tidak ada sesuatu yang tidak berubah. Perubahan adalah sifat yang sangat dominan, yang terlihat sangat mencolok dalam kehidupan ini. 

Jadi, punyailah kesiapan mental untuk setiap saat siap menghadapi perubahan. Kita harus maju, sesuai dengan kemampuan kita. Kita harus memperbaiki yang rusak supaya menjadi bagus. Kita harus membangun yang lebih baik, tatapi harus siap setiap saat kalau perubahan yang mengakibatkan kemunduran atau kelapukan datang. Hanya itu! Bukannya kita tidak boleh maju; bukannya kita malas; bukannya kita pesimis. Mari kita maju, kita gunakan tenaga, kesempatan yang ada, kemampuan kita. Punyailah cita-cita yang sesuai dengan kemampuan Anda. Gunakan cara yang baik, maju, tetapi siap setiap saat kalau perubahan datang. 

Kalau tidak siap menghadapi perubahan, kita akan mengalami stress. Dan itulah penderitaan, itulah ketidakbahagiaan. Berapa lama kita tidak bisa menerima perubahan yang tidak menyenangkan; makin lama kita belum bisa menerima, stress kita makin bertambah; makin cepat bisa menerima perubahan yang sudah terjadi itu, stress kita makin cepat lenyap, segera timbul keseimbangan mental. Terimalah perubahan sebagai kewajaran. Terimalah perubahan, kematian, kehancuran, bukan sebagai musibah, bukan sebagai sial, bukan sebagai nasib jelek, tetapi sebagai kewajaran. Memang sudah sewajarnya dunia ini berubah, sudah sewajarnya kehidupan ini berubah. Terimalah perubahan ini sebagaimana wajarnya. Itulah kehidupan.


TIDAK BISA MENERIMA PERUBAHAN

Sesungguhnya stress itu terjadi karena tidak bisa memahami perubahan yang ada. Dampak stess adalah ketegangan, kepala sakit separuh, mencret-mencret, dan sebagainya. Dia tidak bisa, tidak mau , atau tidak mampu memahami perubahan yang terjadi. Dia sudah melihat perubahan itu, tetapi perubahan yang sudah terjadi tidak disenanginya. Dia tidak bisa menerima perubahan itu, padahal perubahan sudah terjadi. Timbullah ketegangan terjadi, bila berlarut-larut, itu merugikan, bahkan mungkin membahayakan. Itulah yang disebut stress. Perubahan tidak bisa dihindari. Segala sesuatu tidak abadi, tidak kekal.

Kalau orang suka membanggakan ketampanan atau kecantikannya, nanti rambutnya putih sedikit sudah stress. Lalu disemir agar tampak hitam kembali. Tetapi, rutinitas menyemir rambut tiap tiga hari atau seminggu sekali akan menimbulkan stress yang baru lagi. Dia tidak bisa atau tidak mau menerima perubahan yang sudah terjadi. Hal ini menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, dan ketegangan yang berkelanjutan ini menimbulkan penyakit. 

Saya baru mendengar cerita, kalau seorang sudah berusia 50 tahun ke atas, apalagi sudah 60 tahun ke atas, 75%  gejala-gejala penyakit seperti rematik, sesak napas, gemetar, jantung berasal dari kejiwaan. Hanya 25% yang betul-betul sakit fisik. Jadi kalau kita sudah berusia 50 tahun ke atas, kita harus berhati-hati jangan sampai pikiran merusak jasmani. Karena 75% penyakit jasmani berasal dari pikiran, hanya 25% yang murni jasmani.


EUSTRESS DAN DISTRESS

Sesungguhnya stress merupakan bagian dari setiap kehidupan. Tidak ada orang yang tidak pernah stress. Jadi janganlah menganggap stress itu sebagai hantu, sebagai sesuatu yang menakutkan, mengerikan, menghancurkan. Stress adalah bagian dari kehidupan kita ini.

Ada dua macam stress. Ada stress yang membawa kemajuan. Yang di dalam istilah popular, stress yang membawa kemajuan ini disebut eustress. Jadi kalau kita tidak mau stress maka kita tidak akan maju. Stress yang lain adalah stress yang membawa dampak atau akibat kehancuran, stress yang merugikan kita. Stress yang membawa kehancuran ini disebut distress.

Kalau anak-anak menghadapi ulangan, akan ujian, dia juga mengalami stress, “ Apa kira-kiran soal yang akan keluar? Sulit atau tidak? Saya bisa mengerjakan apa tidak?”  Anak-anak menjadi stress. Tetapi, kalau sudah maju ulangan, maju ujian dan berhasil, lenyaplah stress-nya, dan mendapat kemajuan.

Tetapi sebaliknya, kalau stress itu menjadi beban, menjadi tekanan yang sangat berat, sehingga orang tidak mampu lagi menghadapi, itulah yang dikatakan distress, stress yang membawa kehancuran. Sebaliknya, kalau dia mampu menghadapinya , stress itu akan membawa kemajuan, pengetahuan bertambah, pengalaman bertambah, kebijaksanaan berkembang, mendapat hikmahnya. Itulah eustress.

Apakah sebetulnya stress itu? Stress artinya tekanan, beban. Kalau ada air yang mengalir kemudian diberi penghalang, dibendung dengan kayu atau beton. Kayu atau beton ini mendapat tekanan air. Tekanan itulah stress. Kalau kayu ini mampu menahan maka air itu jadi terbendung, menjadi bermanfaat, itulah eustress, membawa kemajuan. Kalau bendungan ini tidak mampu menahan, bendungan ini jebol, itulah distress, membawa dampak yang negatif. Air yang menekan itu dinamakan stressor. Stressor itulah yang mengakibatkan stess. Jadi mungkin mertua, mungkin anak, mungkin pimpinan, mungkin masalah keuangan, lingkungan, suara, cuaca, atau makan tidak enak. Itulah stressor – stressor.

Tetapi, sesuatu yang sangat menarik, ternyata antara eustress dan distress itu, sulit untuk dicari batasnya. Di mana batas eustress? Di man batas distress? Ternyata, batas eustress dan distress adalah relatif sekali. Mengapa dikatakan relatif? Karena meskipun ada batasnya, tetapi batasnya tidak jelas. Bisa di sini, bisa di snaa. Dan ternyata yang membuat batas itu adalah pribadi tiap-tiap orang. Jadi apakah problem ini menjadi eustress atau distress, tergantung pada diri kita, pada kondisi kita pada cara berpikir kita, pada kesiapan mental kita. Bagi Anda mungkin terjadi eustress, tetapi bagi saya bisa menjadi distress.

Hal lain tentang stress ini yang juga harus diketahui: satu masalah bisa menjdai eustress atau distress , tergantung juga pada lamanya masalah itu berlangsung. Kalau persoalan itu bisa segera diatasi, segera selesai, persoalan itu cenderung menjadi eustress. Tetapi, kalau berlarut-larut, persoalan itu bisa menjadi distress. Tentang lama atau sebentar, singkat atau lama, ini juga sulit mencari batasnya. Seberapakah yang dianggap lama? Seberapakah yang dianggap sebentar ? Lama atau sebentar juga relatif, tergantung bagaimana sikap mental kita, cara berpikir kita, ketahanan kita, pandangan hidup kita. Hal itu akan sangat-sangat menentukan. 

Apakah kita ingin menjadikan suatu masalah menjadi stress yang menghancurkan atau menjadi stress yang membawa kemajuan, itu tergantung sepenuh-penuhnya kepada kita. Tidak tergantung pada faktor yang di luar. Untuk itu , minimal kita harus mempunyai bendungan air. Kecuali kita tidak punya keinginan untuk maju, ya biarkanlah saja apa adanya, sejadi-jadinya. Untuk mempunyai bendungan ini, minimal kita harus mempunyai pengetahuan dan kendali, mempunyai daya tahan untuk bertahan. 

Kalau kita mempunyai pengetahuan dan kesanggupan untuk bertahan, nanti kalau mendapatkan arus, mendapatkan tekanan, dan kita mampu bertahan, penahanan ini akan menjadi lebih tebal. Itulah akibatnya. Akibat ditimpa tekanan, penahan ini akan menjadi lebih tebal. Kalau menjadi lebih tebal, penahan ini akan sipa menerima tendangan yang lebih keras. Nah, sekarang penahannya menjadi lebih tebal. Sekarang ada tendangan yang lebih hebat lagi, dan lagi-lagi mampu menahan, maka penahan ini menjadi lebih tebal lagi. Kalau dulu hanya satu lapis, lalu menjadi dua lapis, sekarang penahan ini menjadi tiga lapis. Kalau sekarang menjadi tiga lapis, penahan itu menjadi lebih siap lagi untuk menerima persoalan yang lebih hebat lagi. Dan kalau dia mampu menghadapi, penahannya menjadi lebih tebal lagi. Itulah orang yang dewasa batinnya. Mampu menghadapi persoalan dengan tidak panik, dengan tepat, dan membawa kemajuan.

 


Mengelola Stres

Pada umumnya, pelaksanaan tugas selalu mengandung permasalahan dan tantangan. Masalah dan tantangan ini seringkali menimbulkan stres yang bisa mengganggu pencapaian tujuanStres adalah suatu kondisi tegangan (tension) baik secara faal maupun psikologis yang diakibatkan oleh tuntutan dari lingkungan yang dipersepsi sebagai ancaman.  Stres merupakan bagian dari kondisi manusiawi. Dalam batas tertentu, stres membantu kita agar tetap termotivasi (eustres). Tetapi kadang-kadang kita terlalu banyak mendapatkan stres sehingga menurunkan kualitas kinerja kita (distres). Oleh karena itu, kita perlu memiliki kemampuan mengelola stres.

Untuk bisa mengelola stres, maka langkah yang  harus kita lakukan adalah: mengenali gejala-gejala stres, memahami faktor-faktor penyebab stres, dan melatih diri melakukan mekanisme penanganannya (coping mechanism).

A. Gejala-gejala Stres

Stres mempengaruhi seluruh diri kita. Kondisi stres dapat diamati dari gejala-gejalanya, baik gejala emosional/kognitif maupun gejala fisik. Jika kita dapat menandai gejala-gejalanya, maka kita akan dapat mengelolanya.

Seseorang yang stres tidak berarti harus memiliki/menampakkan seluruh gejala ini, bahkan satu gejala pun sudah bisa kita curigai sebagai pertanda bahwa seseorang mengalami stres. Namun kita juga perlu menyadari bahwa gejala-gejala ini bisa juga merupakan indikator dari masalah lain, misalnya karena memang benar ada gangguan kesehatan secara fisik.

Tabel berikut menggambarkan gejala-gejala stres:
Gejala Emosional/Kognitif
  • Mudah merasa ingin marah
  • Merasa putus asa saat harus menunggu sesuatu
  • Merasa gelisah
  • Tidak dapat berkonsentrasi
  • Sulit berkonsentrasi
  • Jadi mudah bingung
  • Bermasalah dengan ingatan (mudah lupa, susah mengingat)
  • Setiap saat memikirkan hal-hal negatif
  • Berpikir negatif tentang diri sendiri
  • Mood naik turun (mood mudah berubah-ubah, misalnya merasa gembira tapi tak lama kemudian merasa bosan dan ingin marah)
  • Makan terlalu banyak
  • Makan padahal tidak lapar
  • Merasa tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan sesuatu
  • Merasa tidak  mampu mengatasi masalah
  • Sulit membuat keputusan
  • Emosi suka meluap-luap (baik gembira, sedih, marah, dan sebagai- nya)
  • Biasanya merasa marah dan bosan
  • Kurang memiliki sense of humor
 
Gejala Fisik
  • Otot-otot tegang
  • Sakit punggung bagian bawah
  • Sakit di bahu atau leher
  • Sakit dada
  • Sakit perut
  • Kram otot
  • Iritasi atau ruam kulit yang tidak dapat dijelaskan kategorinya
  • Denyut jantung cepat
  • Telapak tangan berkeringat
  • Berkeringat padahal tidak melakukan aktivitas fisik
  • Perut terasa bergejolak
  • Gangguan pencernaan dan cegukan
  • Diare
  • Tidak dapat tidur atau tidur berlebihan
  • Napas pendek
  • Menahan napas


B. Faktor-Faktor Penyebab Stres
Secara umum, faktor penyebab stres meliputi:

1. Ancaman.
Persepsi tentang adanya ancaman membuat seseorang merasa stres, baik ancaman fisik, sosial, finansial, maupun ancaman lainnya. Keadaan akan menjadi buruk bila orang yang mempersepsikan tentang adanya ancaman ini merasa bahwa dirinya tidak dapat melakukan tindakan apa pun yang akan bisa mengurangi ancaman tersebut.

2. Ketakutan
Ancaman bisa menimbulkan ketakutan. Ketakutan membuat orang membayangkan akan terjadinya akibat yang tidak menyenangkan, dan hal ini membuat orang menjadi stres.

3. Ketidakpastian
Saat kita merasa tidak yakin tentang sesuatu, maka kita akan sulit membuat prediksi. Akibatnya kita merasa tidak akan dapat mengendalikan situasi. Perasaan tidak mampu mengendalikan situasi akan menimbulkan ketakutan. Rasa takut menyebabkan kita merasa stres.

4. Disonansi kognitif
Bila ada kesenjangan antara apa yang kita lakukan dengan apa yang kita pikirkan, maka dikatakan bahwa kita mengalami disonansi kognitif, dan hal ini akan dirasakan sebagai stres. Sebagai contoh, bila kita merasa bahwa kita adalah orang yang baik, namun ternyata menyakiti hati orang lain, maka kita akan mengalami disonansi dan merasa stres. Disonansi kognitif juga terjadi bila kita tidak dapat menjaga komitmen. Kita yakin bahwa diri kita jujur dan tepat janji, namun adakalanya situasi/lingkungan tidak mendukung kita untuk jujur atau tepat janji. Hal ini akan membuat kita merasa stres karena kita terancam dengan sebutan tidak jujur atau tidak mampu menepati janji.

Faktor lain yang bisa menimbulkan stres adalah kehidupan sehari-hari, seperti:
  1. Kematian, baik kematian pasangan, keluarga, maupun teman
  2. Kesehatan: kecelakaan, sakit, kehamilan
  3. Kejahatan: penganiayaan seksual, perampokan, pencurian, pencopetan.
  4. Penganiayaan diri: penyalahgunaan obat, alkoholisme, melukai diri sendiri
  5. Perubahan keluarga: perpisahan, perceraian, kelahiran bayi, perkawinan.
  6. Masalah seksual
  7. Pertentangan pendapat: dengan pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, pimpinan
  8. Perubahan fisik: kurang tidur, jadual kerja baru.
  9. Tempat baru: berlibur, pindah rumah
  10. Keuangan: kekurangan uang, memiliki uang, menginvestasikan uang.
  11. Perubahan lingkungan: di sekolah, di rumah, di tempat kerja, di kota, masuk  penjara.
  12. Peningkatan tanggung jawab: adanya tanggungan baru, pekerjaan baru.

Di tempat kerja, selain faktor penyebab yang bersifat umum di atas, ada 6 (enam) kelompok  faktor utama penyebab stres, yaitu:
  1. Tuntutan tugas
  2. Pengendalian terhadap pegawai, yang berhubungan dengan bagaimana para        pegawai melaksanakan pekerjaannya
  3. Dukungan yang didapatkan dari rekan kerja dan pimpinan
  4. Hubungan dengan rekan kerja
  5. Pemahaman pegawai tentang peran dan tanggung jawab
  6. Seberapa jauh instansi tempat bekerja berunding dengan pegawai baru.

C. Reaksi Adaptasi Terhadap Stres

Seberapa banyak, lama, dan berat keberadaan gejala-gejala stres menggambarkan pada tahap mana reaksi seseorang terhadap stres yang dialaminya. Menurut Hans Selye (1974), ada 3 tahap reaksi adaptasi seseorang terhadap stres, yaitu:
 
  • Tahap 1: Alarm Reaction. Gejala muncul sebagai respons permulaan terhadap adanya stres, misalnya karena harus menyusun Persiapan Mengajar Harian, seorang guru baru mendadak sakit perut/mulas-mulas.
  • Tahap 2: Resistance. Seseorang yang sudah terbiasa menghadapi stres pada akhirnya akan lebih tahan (resisten) terhadap stres. Pada tahap ini, seseorang menemukan adaptasi yang baik terhadap situasi yang menimbulkan stres, sehingga alarm reaction menurun. Namun adakalanya pada tahap ini timbul diseases of adaptation, yaitu suatu keadaan dimana seolah-olah seseorang sudah beradaptasi dengan situasi yang menimbulkan stres, padahal sebenarnya adaptasinya tidak tepat sehingga timbul penyakit-penyakit seperti darah tinggi, maag, eksem, dan sebagainya.
  • Tahap 3: Exhaustion. Tahap ini adalah suatu keadaan dimana seseorang benar-benar sakit, yang terjadi bila stres terus menerus dialami dan orang tersebut tidak dapat mengatasinya. Pada tahap ini gejala sudah lebih berat, misalnya seseorang menjadi benar-benar putus asa, mengalami halusinasi, delusi, dan bahkan kematian.

D. Mengelola Stres

Manusia adalah makhluk kompleks yang berada dalam kehidupan yang kompleks pula. Kompleksitas kehidupan berpotensi menimbulkan stres, dan  menuntut seseorang untuk mengatasinya.  Cara seseorang mengatasi stres dapat dikelompokkan menjadi dua kategori.

Pertama, cara ini merupakan cara yang spontan dan tidak disadari, dimana pengelolaan stres berpusat pada emosi yang dirasakan. Dalam istilah psikologi diklasifikasikan sebagai defense mechanism. Beberapa perilaku yang tergolong kedalam kelompok ini adalah:
  1. Acting out, yaitu menampilkan tindakan yang justru tidak mengatasi masalah. Perilaku ini lebih sering terjadi pada orang yang kurang mampu mengendalikan/menguasai diri, misalnya merusak barang-barang di sekitarnya.
  2. Denial, yaitu menolak mengakui keadaan yang sebenarnya. Hal ini bisa bermakna positif, bisa pula bermakna negatif. Sebagai contoh, seseorang guru menyadari bahwa dirinya memiliki kelemahan dalam berbahasa Inggris, namun ia terus berupaya untuk mempelajarinya; bisa bermakna positif bila dengan usahanya tersebut terjadi peningkatan kemampuan; bermakna negatif bila kemampuannya tidak meningkat karena memang potensinya sangat terbatas, namun ia tetap berusaha sampai mengabaikan pengembangan potensi lain yang ada dalam dirinya.
  3. Displacement, yaitu memindahkan/melampiaskan perasaan/emosi tertentu pada pihak/objek lain yang benar-benar tidak ada hubungannya namun dianggap lebih aman. Contohnya: Seorang guru merasa malu karena ditegur oleh Kepala Sekolah di depan guru-guru lain, maka ia melampiaskan perasaan kesalnya dengan cara memarahi murid-murid di kelas.
  4. Rasionalisasi, yaitu membuat alasan-alasan logis atas perilaku buruk. Contohnya: Seorang Kepala Sekolah yang tidak menegur guru yang membolos selama 3 hari mengatakan bahwa ia tidak menegur guru tersebut karena pada saat itu ia sedang mengikuti pelatihan untuk kepala sekolah di ibukota provinsi.
Kedua, cara yang disadari, yang disebut sebagai direct coping, yaitu seseorang secara sadar melakukan upaya untuk mengatasi stres. Jadi pengelolaan stres dipusatkan pada masalah yang menimbulkan stres. Ada dua strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres, yaitu:
  1. Meningkatkan toleransi terhadap stres, dengan cara meningkatkan keterampilan/kemampuan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis, misalnya, Secara psikis: menyadarkan diri sendiri bahwa stres memang selalu ada dalam setiap aspek kehidupan dan dialami oleh setiap orang, walaupun dalam bentuk dan intensitas yang berbeda. Secara fisik: mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup gizi, menonton acara-acara hiburan di televisi, berolahraga secara teratur, melakukan tai chi, yoga, relaksasi otot, dan sebagainya 
  2. Mengenal dan mengubah sumber stres, yang dapat dilakukan dengan tiga macam pendekatan, yaitu:  (a) bersikap asertif, yaitu berusaha mengetahui, menganalisis, dan mengubah sumber stres. Misalnya: bila ditegur pimpinan, maka respon yang ditampilkan bukan marah, melainkan menganalisis mengapa sampai ditegur; (b)  menarik diri/menghindar dari sumber stres. Tindakan ini biasanya dilakukan bila sumber stres tidak dapat diatasi dengan baik. Namun cara ini sebaiknya tidak dipilih karena akan menghambat pengembangan diri. Kalaupun dipilih, lebih bersifat sementara, sebagai masa penangguhan sebelum mengambil keputusan pemecahan masalah; dan (c) kompromi, yang bisa dilakukan dengan konformitas (mengikuti tuntutan sumber stres, pasrah) atau negosiasi (sampai batas tertentu menurunkan intensitas sumber stres dan meningkatkan toleransi terhadap stres)

  • Tahap 1: Alarm Reaction. Gejala muncul sebagai respons permulaan terhadap adanya stres, misalnya karena harus menyusun Persiapan Mengajar Harian, seorang guru baru mendadak sakit perut/mulas-mulas.
  • Tahap 2: Resistance. Seseorang yang sudah terbiasa menghadapi stres pada akhirnya akan lebih tahan (resisten) terhadap stres. Pada tahap ini, seseorang menemukan adaptasi yang baik terhadap situasi yang menimbulkan stres, sehingga alarm reaction menurun. Namun adakalanya pada tahap ini timbul diseases of adaptation, yaitu suatu keadaan dimana seolah-olah seseorang sudah beradaptasi dengan situasi yang menimbulkan stres, padahal sebenarnya adaptasinya tidak tepat sehingga timbul penyakit-penyakit seperti darah tinggi, maag, eksem, dan sebagainya.
  • Tahap 3: Exhaustion. Tahap ini adalah suatu keadaan dimana seseorang benar-benar sakit, yang terjadi bila stres terus menerus dialami dan orang tersebut tidak dapat mengatasinya. Pada tahap ini gejala sudah lebih berat, misalnya seseorang menjadi benar-benar putus asa, mengalami halusinasi, delusi, dan bahkan kematian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS