Membangun Harapan di Tahun Baru
Optimisme is the path that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence (Helen Keller)
Barangkali tidak berlebihan kalau ada ungkapan 'harapan adalah awal dari segalanya', karena sepertinya memang hidup dan kehidupan ini dibangun di atas batu bata harapan. Tumpukan batu bata yang tersusun menjadi cita-cita dan impian tentang hari esok yang lebih baik. Dari sinilah kemudian sesungguhnya peradaban itu dimulai. Dari segumpal harap yang tumbuh dan berkembang menjadi bongkahan impian dan kemudian melahirkan berbagai bentuk bangunan peradaban yang menjadikan hidup lebih hidup.
Dengan demikian, peradaban manusia seperti yang kita lihat saat ini tak kan pernah ada, kalau manusia itu sendiri tidak pernah memiliki harapan. Kita tak kan pernah bertemu dengan kemajuan sains dan teknologi yang begitu mengagumkan seperti sekarang, misalnya, andai manusia, pelaku sains dan teknologi itu, tak berani membuat impian. Dalam konteks ini wajar kalau ada yang mengatakan bahwa kita harus berani bermimpi, karena hidup seringkali bermula dari sebuah impian.
Adalah suatu hal yang tak bisa dibantah bahwa harapan adalah sumber energi kehidupan yang karenanya hidup itu bisa bergerak dan berproduksi. Kalau tidak, maka kita, para penghuni kolong langit ini, tak lebih dari 'mayat hidup', manusia yang secara fisik masih bisa bergerak, namun ruhnya tak lagi bisa menggerakkan kehidupan. Mereka yang tak lagi mampu berharap dalam hidupnya adalah mereka yang kemudian tak mampu memahami hakekat dan memainkan peran kehidupannya sebagai manusia secara utuh.
Dalam banyak penggalan kehidupan, barangkali cukup sering kita bisa merasakan betapa dahsyatnya kekuatan harapan ini. Betapa kita pernah merasakan bahwa ada energi yang mengalir deras dalam diri kita tatkala kita sudah mampu membangun harapan. Sebaliknya, betapa kemudian kita berubah menjadi seorang yang tak berdaya, ketika kita tergoda untuk membunuh dan mengubur harapan itu dalam hidup kita.
Saya sendiri cukup sering merasakan hal ini. Harapan yang kuat untuk sembuh telah memberikan kekuatan luar biasa kepada saya untuk berjuang dan berperang melawan sakit tiga belas tahun yang lalu. Tatkala banyak orang di sekitar saya talah pasrah dengan penyakit yang menggerogoti saya selama hampir enam bulan, saya justru dengan sabar tetap menanam dan menyiangi bibit harapan untuk sembuh itu setiap detik. Ya setiap detik. Bahwa saya harus sehat. Alhamdulillah, akhirnya bait-bait doa saya dikabulkan Allah SWT saat dokter akhirnya mengatakan bahwa saya sembuh.
Harapan untuk mengecap pendidikan tinggi telah membawa saya ke banyak jalan untuk menggapainya. Terlahir dari keluarga yang sederhana (baca: miskin) tidak membuat saya takut menanam harap bahwa saya harus kuliah. Saya bisa kalau saya mau. Demikian keyakinan saya. Sampai akhirnya dengan bayak cara, Allah permudah jalan saya menjadi sarjana pertama di keluarga besar saya dan insyaallah (bakal) menjadi salah seorang dari sekelompok kecil mereka yang bergelar masters di kampung kecil saya. Alhamdulillah
Bagi seorang ayah, harapan untuk membangun masa depan keluarga yang lebih baik adalah sumber energi luar biasa untuk bertahan dan sabar dalam malakoni peran sebagai seorang ayah yang kadang tak mudah. Karena harapan inilah, seorang ayah (dan juga ibu) tak peduli dinginnya suasana malam, teriknya panas mentari atau lebatnya guyuran hujan saat mereka mencari nafkah demi anak-anak mereka tercinta. Demi sebuah penghidupan yang lebih baik. Demi menggapai sebuah harapan yang sudah ditanam. Energi seperti inilah kemudian yang bisa membuat seorang bapak/ibu mampu menikmati rasa capek setelah bekerja seharian.
Bangunan Harapan Seorang Muslim
Pada skala makro, akan ada banyak sekali variable yang menjadi titik pemicu seorang anak manusia dalam membangun harapan itu. Titik-titik itu bisa bersifat material (seperti keinginan untuk memiliki harta yang banyak dan keinginan untuk berkuasa) dan juga bersifat non-material (seperti harapan untuk membahagian seseorang yang dicintai).
Pertanyaannya, sebagai seorang muslim, apa seharusnya yang menjadi motivator utama bagi kita tatkala mulai membangun harapan itu? Jawabannya barangkali bisa kita lihat dari banyak kisah para sahabat dalam perjalanan sejarah Islam. Kalau kita teliti siroh rasul dan para sahabat dalam mendakwahkan Islam, misalnya, tak ragu kita untuk menyimpulkan bahwa harapan untuk mendapatkan ridho Allah lah yang membuat mereka menjadi seseorang yang begitu tegar mengarungi jalan dakwah yang seringkali menanjak dan berliku. Karena harapan inilah, misalnya Nabi Nuh as tak pernah berhenti menyeru ummatnya untuk menyembah Allah siang dan malam selama 950 tahun, sekalipun hanya berapa orang saja yang mau menerima seruan yang beliau sampaikan.
Karena harapan ini jugalah seorang Mushab bin Ummair tak gentar membuka ladang dakwah untuk pertama kali di kota Yastrib sendirian. Ya sendirian. Karena ini jugalah seorang Handzalah bin Abu Amir tanpa ragu meninggalkan kenikmatan malam pertama dengan isterinya tercinta dan kemudian memilih menjawab panggilan jihad yang diserukan Rasulullah SAW. Dan juga karena ini, seorang Sayid Qutb masih mampu tersenyum ikhlas penuh kemenangan pada detik-detik maut akan menjemputnya di tiang gantungan demi mempertahankan keyakinannya untuk tidak berdamai dengan penguasa yang zalim.
Akan kita temui ada begitu banyak kisah heroik dan mengagumkan dalam siroh para rasul dan sahabat ini. Kisah-kisah yang sekilas seakan utopis dan seperti hanya ada di negeri dongeng, namun kita yakin cerita tentang mereka adalah nyata adanya. Mereka adalah pelaku nyata kisah-kisah heroik dalam sejarah peradaban Islam itu. Apa yang membuat mereka menjadi tokoh-tokoh yang melegenda itu? Sekali lagi, jawabannya adalah karena mereka telah mampu membangun harapan (baca: mencari keridhaan Allah SWT).
Pendeknya, membangun harapan sepertinya adalah suatu hal yang perlu kita lakukan secara sadar dan terencana. Karena hidup hanya sekali, maka penting bagi kita untuk menulis naskah (harapan) kehidupan kita. Baik harapan sebagai seorang individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai kepala keluarga, sebagai warga negara, sebagai bagian dari kaum muslimin, dan tentu sebagai seorang hamba Allah SWT. Karena pentingnya harapan ini dalam semua dimensi kehidupan kita, wajar kalau Allah SWT mengaitkan harapan ini dengan keimanan, yaitu ketika Allah mengharamkan hambaNya berputus asa dengan nikmat Allah (QS. 39:53).
Yah, sekali lagi, harapan memang bukan segalanya, tapi dia adalah awal dari segalanya. Maka oleh sebab itu, kita tak boleh berhenti untuk berharap. Kita tak boleh kehilangan keyakinan bahwa hasil yang kita dapatkan sesungguhnya berbanding lurus dengan usaha yang kita lakukan. Dan salah satu usaha itu adalah memantapkan fondasi bangunan harapan kita.
Dan di awal tahun baru ini, adalah saat yang tepat bagi kita untuk kembali menata (ulang) bangunan harapan itu. Secara umum tentu kita harus berharap bahwa hari ini harus lebih baik dari remaren, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Kita harus berani menatap masa depan kita dengan kepala tegak dan wajah penuh optimisme, sekalipun pada saat yang sama, kita dan bangsa besar kita masih belum juga keluar dari perangkap berbagai permasalahannya. Sekali lagi, kita harus yakin bahwa ‘badai pasti berlalu’, kalau kita semua bergerak secara sungguh-sungguh untuk menghalau badai itu.
Namun demikian, tentu perlu juga diingat bahwa keputusan Allah lah yang berlaku di atas semua harapan itu. Keyakinan seperti ini juga penting, agar kita tidak terjebak menjadi seseorang yang kecewa berat tatkala harapan kita tak sesuai dengan kenyataan. Tak kala hasil yang kita peroleh tak seindah rencana bangunan harapan kita. Oleh karenanya, kita mesti menutup ungkapan harapan kita dengan kata-kata ‘semoga’ atau ‘mudah-mudahan’. Kita hanya bisa berencana (dan berusaha), pada akhirnya keputusan Allahlah yang berlaku.
Hope Will Keep Us Alive
Di antara kesekian banyak kisah nyata yang dialami manusia tentang harapan hidup, ini salah satu kisah yang mempertegas bahwa harapan lah yang membuat kita tetap hidup sebagai satu spirit di dalam raga yang menghidupkan badan di dunia ini.
"Kemungkinan operasi jantung ini berhasil hanya 2 persen," begitu kata seorang bapak dalam sebuah percakapan telepon. Secara tidak sengaja saya mendengar kalimat bernada penuh kesedihan bercampur kekhawatiran itu ketika saya sedang berada di ruang tunggu ICU Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Saat itu saya sedang menunggu anak pertama kami (Priscilla Natali Winarto) yang baru saja menjalani operasi jantung.
Teringat pengalaman kami beberapa hari sebelum operasi, ketika sang dokter berkata, "Operasi jantung yang akan dijalani anak bapak sebenarnya termasuk operasi jantung paling ringan namun sayangnya anak bapak terlalu kecil untuk dioperasi." Maklum, anak kami akan menjalani operasi saat usianya baru 41 hari dengan berat badan hanya 2,1 kilogram. Ia terlahir prematur (34 minggu) dengan berat hanya 1,6 kilogram.
Ya, beberapa hari setelah kelahiran, Priscilla didiagnosa menderita kelainan saluran pembuluh darah di dekat jantungnya. Dalam dunia medis, penyakit ini dikenal dengan istilah persistent ductus arteriousus (PDA). Saluran tersebut seharusnya menutup secara otomatis ketika bayi lahir ke dunia ini, maksimal dalam waktu dua kali dua puluh empat jam. Lihat betapa besar keagungan Tuhan! Bukankah kita nyaris tidak pernah tahu kalau saluran itu ada, apalagi mendoakan agar saluran itu tertutup? Ketika berada di dalam kandungan ibu saluran itu memang terbuka karena berfungsi untuk mengalirkan makanan dan oksigen dari ibu kepada sang janin. Sebagai catatan penting, untuk menutup saluran itu diperlukan biaya puluhan juta rupiah.
Ketika saya tanyakan kepada dokter berapa persen tingkat keberhasilan operasi anak kami, ia menjawab, "Sekitar 90! Namun ada kemungkinan lain yakni kalau tubuhnya tidak tahan terhadap bius, ia akan terus koma atau organ dalam tubuhnya yang masih begitu kecil mengalami infeksi setelah operasi."
Saat itu kami pun mengalami kegelisahan luar biasa. Sudah tidak terhitung berapa banyak air mata yang tumpah dan berapa banyak doa yang selalu kami panjatkan. Dengan penuh kasih dan harapan, saya memandangi wajah istri saya sembari berkata, "Dalam nama Tuhan saya akan menandatangi surat persetujuan operasi ini." Istri saya mengangguk perlahan sebagai tanda ia setuju.
Pengalaman kami dan bapak seperti yang saya sebutkan di awal cerita ini adalah sebuah pengalaman tentang pentingnya harapan dalam hidup. Mentor saya, Dr. John C. Maxwell berujar, "Where there is no hope in the future, there is no power in the present." Ya, jika tidak ada harapan akan hari esok yang lebih baik, tentu tidak akan ada kekuatan untuk hari ini.
Saya pernah membaca sebuah penelitian yang mengatakan seseorang dapat bertahan hidup selama empat puluh hari tanpa makan, empat hari tanpa minum, empat menit tanpa oksigen namun hanya empat detik tanpa harapan. Begitu orang kehilangan harapan, ia cenderung berpikir segalanya telah berakhir sehingga ia pun memutuskan untuk bunuh diri. Angka empat detik barangkali diambil dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk meloncat dari sebuah gedung tinggi hingga sampai ke tanah.
Harapanlah yang membuat orang berani mengambil risiko dan melangkah maju menuju hari esok yang lebih baik. "Jika dokter berani memutuskan untuk melakukan operasi itu berarti mereka masih memiliki harapan," kata seorang sahabat. Saya yakin itu benar, seberapa kecil kemungkinan operasi itu berhasil toh harapan tetap ada.
Puji Tuhan, operasi anak kami berhasil dan saat artikel ini ditulis, ia telah berusia dua tahun empat bulan. Ia tumbuh menjadi anak yang manis, lincah, aktif, ramah dan mau diajar.
Teringat pengalaman kami beberapa hari sebelum operasi, ketika sang dokter berkata, "Operasi jantung yang akan dijalani anak bapak sebenarnya termasuk operasi jantung paling ringan namun sayangnya anak bapak terlalu kecil untuk dioperasi." Maklum, anak kami akan menjalani operasi saat usianya baru 41 hari dengan berat badan hanya 2,1 kilogram. Ia terlahir prematur (34 minggu) dengan berat hanya 1,6 kilogram.
Ya, beberapa hari setelah kelahiran, Priscilla didiagnosa menderita kelainan saluran pembuluh darah di dekat jantungnya. Dalam dunia medis, penyakit ini dikenal dengan istilah persistent ductus arteriousus (PDA). Saluran tersebut seharusnya menutup secara otomatis ketika bayi lahir ke dunia ini, maksimal dalam waktu dua kali dua puluh empat jam. Lihat betapa besar keagungan Tuhan! Bukankah kita nyaris tidak pernah tahu kalau saluran itu ada, apalagi mendoakan agar saluran itu tertutup? Ketika berada di dalam kandungan ibu saluran itu memang terbuka karena berfungsi untuk mengalirkan makanan dan oksigen dari ibu kepada sang janin. Sebagai catatan penting, untuk menutup saluran itu diperlukan biaya puluhan juta rupiah.
Ketika saya tanyakan kepada dokter berapa persen tingkat keberhasilan operasi anak kami, ia menjawab, "Sekitar 90! Namun ada kemungkinan lain yakni kalau tubuhnya tidak tahan terhadap bius, ia akan terus koma atau organ dalam tubuhnya yang masih begitu kecil mengalami infeksi setelah operasi."
Saat itu kami pun mengalami kegelisahan luar biasa. Sudah tidak terhitung berapa banyak air mata yang tumpah dan berapa banyak doa yang selalu kami panjatkan. Dengan penuh kasih dan harapan, saya memandangi wajah istri saya sembari berkata, "Dalam nama Tuhan saya akan menandatangi surat persetujuan operasi ini." Istri saya mengangguk perlahan sebagai tanda ia setuju.
Pengalaman kami dan bapak seperti yang saya sebutkan di awal cerita ini adalah sebuah pengalaman tentang pentingnya harapan dalam hidup. Mentor saya, Dr. John C. Maxwell berujar, "Where there is no hope in the future, there is no power in the present." Ya, jika tidak ada harapan akan hari esok yang lebih baik, tentu tidak akan ada kekuatan untuk hari ini.
Saya pernah membaca sebuah penelitian yang mengatakan seseorang dapat bertahan hidup selama empat puluh hari tanpa makan, empat hari tanpa minum, empat menit tanpa oksigen namun hanya empat detik tanpa harapan. Begitu orang kehilangan harapan, ia cenderung berpikir segalanya telah berakhir sehingga ia pun memutuskan untuk bunuh diri. Angka empat detik barangkali diambil dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk meloncat dari sebuah gedung tinggi hingga sampai ke tanah.
Harapanlah yang membuat orang berani mengambil risiko dan melangkah maju menuju hari esok yang lebih baik. "Jika dokter berani memutuskan untuk melakukan operasi itu berarti mereka masih memiliki harapan," kata seorang sahabat. Saya yakin itu benar, seberapa kecil kemungkinan operasi itu berhasil toh harapan tetap ada.
Puji Tuhan, operasi anak kami berhasil dan saat artikel ini ditulis, ia telah berusia dua tahun empat bulan. Ia tumbuh menjadi anak yang manis, lincah, aktif, ramah dan mau diajar.
Pengalaman mengajarkan kami betapa pentingnya harapan dalam keseharian hidup manusia. Saat artikel ini saya susun, anak kedua kami (Timothy Stanley Winarto) yang baru berusia 11 hari sedang dirawat di rumah sakit karena kuning (hiperbilirubin). Sudah empat hari ia disinar di ruang perawatan bayi RS Borromeus, Bandung. Sebelum diopname di rumah sakit, Timothy sebenarnya sudah sempat pulang ke rumah selama dua hari namun keadaan berkata lain, ia harus kembali ke rumah sakit. Siang tadi, saat kami menjenguk, keadaannya sudah jauh membaik. Kemungkinan dalam beberapa hari ke depan, ia sudah boleh berkumpul kembali bersama kami di rumah.
Ayah kandung saya pun saat ini sedang dalam tahap pengobatan yang intensif lantaran berbagai macam penyakit, seperti pembengkakan jantung, penyempitan pembuluh darah otak, kolesterol tinggi, hipertensi dan batu empedu.
Hidup memang selalu naik-turun. Kadang di atas, kadang di bawah. Ketika sedang di atas, jangan pernah mabuk dan lupa diri. Namun ketika sedang di bawah, jangan pernah putus harapan. Harapan bagi saya, ibarat bahan bakar sebuah kendaraan bermotor. Sebagus apa pun kendaraan itu, jika ia tidak memiliki bahan bakar atau kehabisan bahan bakar tentu ia tidak akan dapat berfungsi, apalagi melaju dengan kecepatan tinggi. Martin Luther King pernah berkata, "When you lose hope you die!"
Seorang teman pernah bertanya kepada saya, apakah ada perbedaan antara orang yang optimis dan orang yang punya harapan? Saya ingin mengutip pernyataan Jonathan Sacks untuk menjawab pertanyaan ini, "Optimism is the belief that things will get better. Hope if the faith that, together, we can make things better. Optimism is a passive virtue; hope, an active one. It takes no courage to be optimist, but it takes a great deal of courage to have hope."
Dari pernyataan tersebut, kita bisa melihat bahwa ada perbedaan besar antara orang yang optimis yang orang yang berpengharapan? Orang yang berpengharapan memiliki keberanian untuk bertindak. Ia tidak menunggu keadaan membaik namun ia mau melakukan sesuatu agar keadaan membaik.
0 komentar:
Posting Komentar