Pengembangan Kreativitas
Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk kreatif. Bedanya ada kreativitas yang dikembangkan secara serius, banyak pula kreativitas yang tidak terawat dan sama sekali tidak mendapatkan pengembangan. Tetapi percayalah, bahwa kreativitas itu bisa dilatih, dibina dan ditingkatkan secara terarah.
Untuk pengembangan kreativitas diperlukan berbagai unsur:
- Proses sosialisasi yang baik demi interaksi yang positif.
- Peningkatan kontinyu penguasaan ilmu pengetahuan/teknologi.
- Maksimalisasi etos kerja.
- Penguasaan cara berpikir yang cerdas dan bebas
- Pengayaan wawasan yang terus-menerus.
- Rasa percaya diri yang tidak tidak terganggu.
- Keberanian mengambil risiko
- Kesiapan bertanding dalam bersaing
- Keterbukaan terhadap kritik
- Keteguhan memegang prinsip moral/etika.
Kreativitas dan Bahasa
Kreativitas sangat erat berhubungan dengan bahasa. Semakin menguasai bahasa dan bahasa-bahasa, semakin besar kemampuan untuk kreativitas. Gagasan kreativitas bisa didapatkan lewat pergaulan, diskusi, debat, seminar, juga dengan membaca banyak buku-buku ilmiah di segala bidang. Untuk semua itu memerlukan penguasaan bahasa yang seluas-luasnya.
Ada dua macam bahasa, yakni Bahasa Primer dan Bahasa Sekunder. Bahasa Primer adalah bahasa lisan. Karena sifatnya yang langsung, bahasa lisan lebih orisinal dan spontan. Bahasa Sekunder adalah Bahasa Tulisan. Bahasa Tulisan karena sifatnya tidak langsung dan tidak spontan, biasanya lebih gramatikal, teratur strukturnya, juga memungkinkan untuk memiliki style yang lebih literer.
Kreativitas dan Seni
Karya seni kelas dunia merupakan contoh-contoh yang membuktikan, bahwa kreativitas itulah yang mampu melahirkan karya-karya besar. Karena itulah, setiap insan kreatif tidak akan mengabaikan karya-karya besar, misalnya dari Pablo Picasso, Leonardo da Vinci, Michael Angelo, Vincent van Gogh, Rembrandt, dan sebagainya.
Untuk mengembangkan kreativiras dan citarasa estetika, orang juga bisa menikmati karya-karya sastra kaliber dunia, seperti karangan Gabriel Garcia Marquez (Amerika Latin), Nadine Gordimer (Afrika Selatan), Gao Xinjian (China), George Orwell (Eropa), dan sebagainya.
Dengan terbukanya kebebasan mencipta, kita menyaksikan membanjirnya tulisan-tulisan dalam berbagai media massa, juga yang terbit dalam bentuk buku. Lembaga penerbitan buku juga tumbuh menjamur di mana-mana. Gejala seperti itu mungkin membesarkan hati kita. Tetapi apakah dengan demikian kesusasteraan kita mengalami kemanjuan atau perkembangan yang berarti?
Ternyata tidak demikian. Kebebasan memang penting, bahkan cenderung menentukan.Tetapi ternyata kebebasan mencipta saja tidak cukup. Untuk menciptakan karya yang bernilai juga memerlukan kedalaman dan keluasan wawasan, selain daya kreativitas yang tinggi.
Hingga kini karya sastra kita masih terpuruk. Di gelanggang internasional, sastra kita belum bisa bicara apa-apa. Beberapa kali terbit antologi sastra dunia, karya penulis kita tidak ada yang ikut termuat di dalamnya. Dalam hal ini kita kalah oleh penulis dari Palestina dan Papua Nugini. Selain perlu disayangkan tentu perlu juga kenyataan seperti itu jadi renungan bersama.
Kita tidak bisa bicara hanya soal kuantitas. Masalah kualitas karya selamanya merupakan hal yang terpenting sepanjang kita bicara seni sastra. Pada mulanya, kata sastra memang berarti tulisan atau karya tertulis. Namun tidak setiap karya tertulis adalah karya sastra. Samalah halnya, tidak setiap novel adalah karya sastra. Sekarang ini kebanyakan yang terbit adalah karya tulis, tetapi tidak banyak yang berkualifikasi karya sastra.
Sastra, atau tepatnya susastra, memerlukan kekayaan kandungan nilai-nilai. Pada umumnya nilai-nilai filsafat dan agama merupakan ramuan yang sangat penting untuk setiap karya sastra. Tanpa kandungan nilai-nilai filosofis dan religius, sastra bukanlah sastra, tidak lebih dari seonggok teks yang gagu dan hampa. Aneh rasanya, jika masih banyak penulis bersmangat, tetapi menjauhi nilai-nilai reliji dan filosofi.
Meskipun demikian kita tidak bisa mengatakan bahwa tiap karya yang syarat nilai-nilai agama atau filsafat pastilah sebuah karya sastra yang berhasil. Dengan kata lain, tidak dengan sendirinya seorang ahli agama atau ahli filsafat adalah sastrawan.
Mungkin sudah kodrat sastra, harus mengacu kepada filsafat. Jika tidak yang terjadi hanyalah teks yang tergolong karya pop saja. Sayangnya terlalu banhyak penulis kita yang tidak atau belum tertarik kepada filsafat. Maka janganlah heran jika yang kini membanjir adalah karya-karya pop.
Kejadian seperti itu tampaknya akan berjalan terus, dalam kurun waktu yang akan cukup panjang. Itu dimungkinkan, karena tidak adanya seleksi terhadap karya-karya yang akan diterbitkan. Pertama, karena setiap penulis bisa saja menerbitkan karyanya sendiri, tanpa lewat saringan tertentu. Kedua, kita memang sedang tidak punya kritikus sastra yang berwibawa dan professional. Krisis kritikus sastra? Katakanlah demikian.
Tentu sangat menyedihkan (juga memalukan), sikap penulis tertentu yang sangat naïf terhadap kritik. Ada penulis yang memandang peran kritikus sama dengan benalu. Katanya, jika tidak ada karya, maka tidak ada kritik. Maka kritikus pun akan kenhilangan pekerjaan, jika tidak ada karya yang bisa dikritik. Bahkan ada sastrawan ternama, ketika karyanya dikritik, naik pitam. Dari mulutnya yang sering bernada tasawuf, berhamburan makian bagaikan orang sedang mabuk alcohol.
Bagaimana dengan sastra koran dan sastra majalah? Pemuatan di media tentu melalui tangan-tangan redaktur. Tetapi tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang unggul, setidaknya memadai. Dengan demikian banyaknya karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra kita selama ini. Jangan pula lupa, bahwa koran atau majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri.
Tetapi bagaimanapun kualitas karya sastra ditentukan terutama oleh mutu sastrawannya itu sendiri. Sayangnya, terlalu banyak penulis kita, yang terlalu minim pengetahuannya tentang sastra itu sendiri. Masih banyak penulis yang idak paham,misalnya,apa beda cerita dengan plot. Cerita, sebenarnya hanya merupakan bahan mentah (raw material) dari sebuah karya. Apabila cerita itu telah diolah melalui reka cipta, barulah ia menjadi plot karya yang bersangkutan.
Kelemahan lain, kebanyakan penulis kita adalah dalam penggunaan bahasa. Mereka berniat menulis karya sastra, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa harian, bahasa biasa, bukan bahasa literer. Kebanyakan karya-karya mereka juga hanya menyuguhkan cerita seadanya (bahan mentah), belum diolah menjadi plot.
Kita memang perlu bicara seni, termasuk seni fiksi. Sayang tidak sedikit orang yang menyuguhkan fiksi, tetapi bukan seni fiksi. Tidak sedikit, penulis, yang untuk menutupi kelemahan (karyanya) lalu melakukan berbagai upaya yang tidak relevan.Misalnya dengan menyuguhkan hal-hal yang berbau pornografis. Ada juga yang menjadikan bumbu politik, atau peristiwa politik, sebagai warna tulisannya.
Tentu saja sastra politik juga sah-sah saja. Masalahnya, yang terjadi di sini, politik tampil sebagai polusi. Berbeda dengan dalam umumnya sastra Amerika Latin, di mana politik hadir sebagai tulang punggung estetika.
Salah paham masyarakat tampaknya tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Misalnya adanya mitos sastra exil atau sastra kiri. Sebenarnya apa yang selama ini disebut sebagai sastra kiri, kebanyakan sama sekali bukan karya sastra. Jika disimak dan diuji, ternyata tidak lebih dari teks-teks yang sangat sloganistis. Dan sastra tentu berbeda dengan slogan.
Apa yang ditulis Widji Tukul, misalnya, bukanlah karya sastra, melainkan slogan untuk menyemangati ‘perjuangan’ golongan tertentu. Apa yang ditulis WS Rendra (almarhum) di bawah judul Potret Pembangunan, tentu saja juga bukan karya sastra, melainkan pamplet politik belaka.
Ada baiknya jika kita menyimak pendapat Guillermo Cabrera Infante, sastrawan dan sineas kelahiran Cuba. Infante menilai, penulis mashur seperti George Orwell, Alexander Solzhenytsin, Albert Camus, adalah orang-orang yang gagal untuk jadi seniman atau sastrawan. Tetapi mereka adalah pahlawan, karena “melawan pedang dengan kata-kata”. Demikian pun, itu tidak menjadikan mereka sastrawan.
Pengalamanku dan Kesusastraan
Pertama kali aku membuat suatu puisi? ( taraf mencoba-coba tentunya) sewaktu aq di kelas 1 SMU sekedar mengisi waktu iseng2 di kelas dan di rumah. Wah..kalau dibandingkan dengan saat ini, puisi ku dulu bukanlah apa-apa, tak berkesan malah. Paragraph yang keterlaluan memanjang, ekspresi yang berlebihan ( maklumlah, baru belajar memikirkan diksi, juga dunia baru bagiku.)
Pertama kali aku mengenal sastra tepatnya di Sekolah Menengah Umum, ketika membaca buku Horizon , majalah nasional mengenai Sastra di perpustakaan yang kerap ku kunjungi di saat senggang waktu study karena pada dasarnya aku senang membaca, membaca, dan membaca. Siapa bilang membaca itu membosankan, (kecuali kau salah mendapati tulisan tuk dibaca kali ya?), maka itu pick one of ur favourite interest of reading!
Tak terpikirkan olehku sebelumnya bahwa, aku memiliki bakat juga menuangkan kata-kata dalam puisi. Lalu kutarik kesimpulan bahwa talenta itu pun tak cukup, semestinya diiringi pembenahan dan latihan.
Segera, setelah menyimak banyak puisi-puisi dalam satu bundle kumpulan puisi penyair-penyair dunia, aku memulai petualangan yang ku sebut mencari jati diri pada seorang puisi.
Lalu kutemui juga beberapa teman kelas lain yang telah berhasil mempublish puisinya pada Koran regional. Maka tekadku setidaknya menaik satu level untuk mencoba mengklarifikasi puisiku pada Koran regional. Unfortunately, ku temui puisi ku terpampang dua tahun kemudian saat aku berada di kelas 3. Sedikit perjuangan yang panjang dan melelahkan tentunya.
Tentunya tak di dukung oleh seperangkat dan spirit dari siapapun, maka kebulatan tekad saja yang menuntun ku berhasil keluar dari kungkungan penjara kata untuk mengungkap perasaan di hati.
Syukurlah aku berhasil melalui segalanya, baru ku aktifkan produktifitas menulis sajak pada Koran regional di tiap edisi minggu pada kolom sastra.
Sebenarnya tujuan awal hanyalah sebuah keasikan yang menjurus pada pelatihan diri dan mental menulis sajak dan puisi. Tetapi pada akhirnya kutemukan petualangan menulis yang luar biasa, yang mampu membantu imajinasi dan daya pikirku untuk melanglang buana tak terbatas.
Seperti kata Einstein, ilmu sangat terbatas, tapi imajinasi tak kan terbatas. Karena itu janganlah berhenti berimajinasi dan menulis, teman-teman!
LMCR LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD MENJAGA DAN MEMELIHARA EKSISTENSI SASTRA-BUDAYA INDONESIA
LMCR Lip Ice – Selsun Golden Award 2010 merupakan Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) tahun ke-5, selama jangka waktu yang cukup lama ini, saya melihat bahwa peminat maupun pesertanya terus semakin bertambah setiap tahunnya. Bahkan, di tahun 2010 ini sudah hampir mencapai 7.000 karya tulis yang disampaikan kepada Panitia Lomba. Dapat dikatakan bahwa jumlah tersebut merupakan jumlah yang besar untuk lomba seperti ini.
Sejak awal LMCR Lip Ice – Selsun Golden Award ini, kami adakan untuk menarik dan meningkatkan minat membaca dan menulis di Indonesia, terutama bagi kalangan remaja dan anak muda. Untuk itu pula, LMCR Lip Ice – Selsun Golden Award ini diadakan dalam skala nasional dengan didahului pelatihan (workshop) secara gratis di berbagai sekolah dan kampus.
Adalah keinginan dan harapan kami pula bahwa minat membaca dan menulis ini dapat menjadi modal dasar bagi generasi muda Indonesia. Tetapi, kami juga memiliki tujuan yang lebih lanjut dari pengadaan LMCR Lip Ice – Selsun golden award ini, yaitu suatu kemandirian dalam berkarya, meningkatkan kreativitas anak bangsa dan terus menjaga keragaman dan eksistensi budaya dan sastra di Indonesia. Dari karya para peserta yang masuk, dapat dipahami bahwa mereka mampu dengan bebas berkreasi serta menggambarkan berbagai ragam bahasa dan budaya daerahnya masing-masing.
Sedemikian banyak ragam budaya dan sastra yang digunakan dalam karya mereka ini, telah dapat juga mengingatkan para pembacanya bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan budaya dan sastra yang bagus dan menarik. LMCR Lip Ice – Selsun golden Award ini, dengan nyata dapat memberikan suatu momentum yang menarik, bahwa bangsa Indonesia harus mampu menjaga dan memelihara budaya dan sastranya sendiri, setelah diimbagi oleh minat membaca dan menulis yang kuat.
Kami gembira bahwa semua ini telah mampu didorong melalui LMCR Lip Ice – Selsun yang telah berjalan selama lima tahun ini. Momentum yang tepat pada saat ini agar generasi muda Indonesia dapat ikut menjaga eksistensi ragam budaya dan sastra yang ada serta menjadikannya asset bagi bangsa kita sendiri dan tidak beralih menjadi asset bangsa lain.
Nah, teman-teman Universitas Gunadarma, tunggu apalagi? mari berkarya dan bergabung dalam LMCR 2011 yang diselenggarakan oleh PT.ROHTO demi kelangsungan sastra - budaya Indonesia yang sudah menjadi kewajiban kita sebagai pemuda-pemudi penerus bangsa berpartisipasi dalam pembangunan demi kemajuan negeri pertiwi kita tercinta.
*****Beberapa Pandangan *****
*****Keliru tentang Kreativitas********
Teresa Amabile telah melakukan studi tentang kreativitas hampir selama 30 tahun, melalui kerjasamanya dengan para mahasiswa kandidat Ph.D, manajer berbagai jenis perusahaan dan mengumpulkan 12 000 jurnal harian dan serta berbagai aktivitas lainnya yang terkait dengan proyek kreativitas. Berdasarkan hasil telaahannya dia mengungkapkan 6 pandangan yang keliru atau mithos tentang kreativitas yang terjadi selama ini. Keenam mithos tersebut adalah.
1. Creativity Comes From Creative Types
Ada anggapan bahwa kreativitas seolah-seolah hanya berasal dan milik kalangan atau golongan tertentu, misalnya kelompok orang-orang yang bergerak dalam bidang R & D, marketing atau advertising, yang didukung dengan bakat, pengalaman, serta kecerdasan yang luar biasa. Namun studi yang dilakukan menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan normal pun sesungguhnya dapat memiliki kemampuan untuk bekerja secara kreatif, hanya mereka kadang-kadang tidak menyadari potensi kreatifnya, karena mereka bekerja atau berada pada lingkungan yang mengahalangi tumbuhnya motivasi intrinsik. Motivasi instrinsik inilah justru merupakan faktor yang dianggap dapat menyalakan seseorang untuk bekerja secara kreatif.
2. Money Is a Creativity Motivator
Banyak orang beranggapan bahwa uang dianggap sebagai pemicu dan pendorong kreativitas. Studi eksperimental yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ternyata uang bukanlah apa-apa. Ketika ditanyakan kepada sejumlah orang: “Termotivasi oleh penghargaan (baca: bonus) apa hari ini Anda bekerja?. Mereka menjawab “ Itu pertanyaan yang tidak relevan”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bekerja mereka tidak hanya berfikir tentang berapa upah yang harus diterima per harinya.
Tentunya setiap orang membutuhkan kompensasi yang adil atas kinerjanya, tetapi ternyata banyak orang cenderung meletakkan nilai–nilai (value) yang lebih jauh, dan tidak hanya sekedar uang. Orang menjadi sangat kreatif tatkala lingkungan kerja memberikan ruang yang terbuka bagi dirinya untuk berkreasi dan memperoleh perluasan keterampilan untuk kemajuan nyata dalam bekerjanya. Hal yang penting agar orang menjadi kreatif adalah berusaha menempatkan mereka tidak hanya berdasarkan pengalaman kerja semata tetapi juga harus memperhatikan minatnya (interest), sehingga mereka akan lebih peduli terhadap apa yang dikerjakannya.
3. Time Pressure Fuels Creativity
Banyak orang berfikiran bahwa orang menjadi kreatif ketika dia bekerja di bawah tekanan deadline. Namun hasil studi menunjukkan kebalikannnya. Orang menjadi miskin kreativitas ketika harus bertempur dengan waktu. Tekanan waktu yang hebat dapat mencekik kreativitas sehingga dalam bekerja mereka tidak mampu lagi untuk berusaha mendalami masalah-masalah yang ada.
Kreativitas mensyaratkan adanya masa inkubasi, orang membutuhkan waktu untuk mendalami suatu masalah dan membiarkan untuk menggelembungkan segala pemikirannya.
Bekerja dengan deadline akan menimbulkan banyak masalah sehingga banyak menyita waktu mereka untuk melakukan terobosan-terobosan pemikiran kreatifnya. Agar orang menjadi kreatif harus terlindungi dari berbagai gangguan atau masalah, sehingga dia dapat lebih fokus dalam bekerjanya.
4. Fear Forces Breakthroughs
Seringkali orang beranggapan bahwa ketakutan, kecemasan dan kesedihan akan menjadi kekekuatan seseorang untuk menjadi kreatif, sebagaimana banyak dibicarakan dalam beberapa literatur psikologi. Tetapi hasil studi tidak melihat ke arah itu. Kreativitas muncul justru pada saat orang merasa senang dan bahagia dalam bekerja. Terdapat korelasi antara kebahagiaan seseorang dalam bekerja dengan tingkat kreativitasnya. Bahkan, kebahagaian seseorang pada suatu hari seringkali menjadi ramalan kreativitasnya pada hari berikutnya
5. Competition Beats Collaboration
Ada semacam keyakinan, khususnya di kalangan dunia industri high –tech dan keuangan bahwa kompetisi internal dapat membantu terciptanya inovasi. Namun hasil survey menunjukkan bahwa kreativitas justru muncul pada saat orang bekerja secara kolaboratif. Melaui team work orang dapat menunjukkan rasa percaya dirinya, saling berbagi dan memperdebatkan berbagai pemikirannya. Namun ketika orang harus dikompetisikan malah mereka menjadi enggan dan menghentikan untuk saling berbagi informasi dan pengalamannya.
6. A Streamlined Organization Is a Creative Organization
Banyak orang beranggapan bahwa organisasi yang ramping adalah organisasi yang kreatif. Memang benar, bahwa ukuran organisasi yang besar seringkali mengalami kesulitan untuk mengendalikan karyawan. Tetapi jika, tabah dan bersabar menghadapinya justru akan menghasilkan kekuatan, kreativitas dan kolaborasi. Yang terpenting disini adalah bagaimana setiap orang dapat diberikan kesempatan untuk bekerja secara otonom dan mencintai pekerjaannya, memiliki komitmen, terjalin komunikasi dan kolaborasi, sehingga pada suatu saat kreativitas akan muncul dengan sendirinya.
0 komentar:
Posting Komentar